Wednesday, 25 July 2012

Lengkuas dan THR

Lengkuas (bukan nama sebenarnya), demikianlah orang memanggilku di wilayah ini. Yah, sebagai seorang wanita berumur 25 tahun aku sudah demikian terkenal. Bahkan aku dapat dikatakan adalah seorang bintang di wilayah ini. Wilayah tempat aku bekerja. Seantero manusia yang paling tidak pernah masuk ke dalam wilayah kerjaku ini sudah pasti mengetahui tentang keberadaanku. Tentu saja tidak cukup tahu namaku saja, melainkan bentuk tubuhku dan paras wajahku wereka pasti menetahuinya. Kalaupun tidak mereka pasti sudah memiliki gambaran akan aku.

Ramadhan. Yah bulan ini merupakan bulan penuh ampunan (menurut ceramah di masjid yang sering terdengar melalui pengeras suara di masjid seberang jalan). Bulan disaat orang orang mulai khususk beribadah mengharapkan limpahan rahmat dari Sang Pencipta. Banyak masjid yang mendadak ramai. Lebih ramai dari kondisi yang sebelumnya. Banyak suara orang mengaji di malam hari. Bahkan sampai larut malam. Masjid yang menyala lampunya ketika dini hari. Si penghuni masjid berteriak teriak entahlah menyebutkan apa, tapi terdengar dari kejauhan ada maksud mereka membangunkan orang yang masih tidur untuk segera bangun untuk menjalankan sahur.

Tapi tidak untuk aku.

Di ujung bulan penuh rahmat ini (ini juga aku dengar dari pengeras suara masjid yang sama, masjid di seberang jalan)terdapat hari yang disebut hari penuh kemenangan, dimana setelah sebulan penuh berharap rahmat dari Sang Pemilik dunia ini, menahan hawa nafsu. Tapi entahlah apa kemudian mereka akan meledakkan semua hawa nafsu yang tertahan atau apa. Apapun itu sepertinya tidak begitu berpengaruh untukku. Dalam sebulan ini adapula yang sibuk mempersiapkan untuk hari kemenangan tersebut. Baju baru, kue-kue, perabotan baru bahkan mungkin cat rumah yang baru atau sekedar keset atau taplak meja yang baru.Menyiapkan uang pecahan kecil untuk kemudian dibagikan kepada sanak saudara.

Sedangkan untuk aku?

Aku muslim. Aku sholat.Aku Puasa. Syahadat pun sudah sering aku lantunkan disaat saat sayup aku mengaji. Tapi aku sering merasakan rataban nasibku yang tidak menentu. Dan Ramadhan ini dan Ramadhan sebelum-sebelumnya menjadikan aku tersiksa akan hari kemenangan itu. Hari yang menjaminkan beberapa hal yang baru untukku dan untuk keluargaku (terdiri satu anak saja, aku ditinggalkan suamiku entah berapa tahun yang lalu). Ramadhan adalah bulan sepi untuk pekerjaanku. THR yang aku harapkan pun justru bertentangan dengan organisasi masyarakat bahkan kebijakan pemerintah. Salah salah justru semua lenyap dengan dinginnya suasana bilik jeruji besi. Ah, entahlah yang jelas di bulan Ramadhan pendapatanku selalu turun drastis. Meski aku menyandang gelar bintang di wilayah kerja ini, tapi tetap saja di bulan Ramadhan ini aku tidak menjadi sebuah pilihan yang istimewa. Bahkan aku harus bersaing dengan pekerja sesama profesiku yang bergelar teri atau kacang.

Semua demi THR yang sering dipanjangkan menjadi Tunjangan Hari Raya. Agar aku bisa mempersembahkan hal-hal yang baru untuk permata hatiku. Salsa namanya (kali ini aku sebutkan nama sebenarnya dari anakku satu-satunya yang sekarang tinggal bersama kakek dan neneknya di kampung nun jauh di sana). Agar aku bisa paling tidak membelikan kain untuk kedua orang tuaku yang sampai saat ini tidak tahu apa profesiku. Dapat membelikan mereka kue atau sekedar oleh oleh dari kota yang banyak disebut sebagai kota mencari uang (meskipun banyak orang yang terjebak di kota ini dengan istilah yang satu ini, termasuk aku)

Oh iya, aku belum cukup memperkenalkan diri. Untuk nama asliku, mohon maaf karena aku tidak ingin kepopueranku merambah dunia maya maka aku hanya menyebutkan nama smaranku. Aku adalah putri daerah yang berasal dari salah satu desa terpencil di Provinsi Jawa Timur. Aku sekarang mengadu nasib di kota ibukota, kota megapolitan, kota industri dan pusat kota administrasi negara. Aku bekerja di kawasan segitiga emas di Jakarta Barat. Bukan segitiga emas Jalan Sudirman tentu saja. Aku bekerja di sini juga bukan keinginanku sebenarnya. Penyalur kerja yang bangsat yang dulu menjanjikan aku untuk bekerja di sebuah minimarket. Yang kemudian memperkenalkanku dengan seorang laki-laki yang pernah aku cintai, dan bahkan sempat menjadi suamiku. Tapi kini pergi meninggalkanku dengan menancapkan luka besar yang menganga. Hingga akhirnya aku harus bergelut dengan nafas dan keringat dari orang yang mempekerjaiku atau istilahnya mengerjaiku. Meski mereka bau ataupun apa aku tidak peduli, aku hanya peduli pada lipatan lipatan kertas yang temuat dalam dompetnya. Tentang rasa atau kenikmatan (cuih, sambil meludah) tiada lagi yang dapat aku rasakan. Dan aku rasa itu tiada penting. Yang penting adalah kebahagiaan anakku nun jauh di sana.

Tentu kalian sudah bisa menebak apa profesiku bukan?maaf aku tidak bisa berlama-lama menjawab setiap pertanyaan, karena aku harus berjuang demi THR. Meski aku sadar jalan yang kutempuh ini adalah bukan jalan yang diajarkan oleh para guru agama di sekolah dasarku dulu, bukan ajaran dari kyai yang mengajarkanku bagaimana membaca kitab suci dengan merdu hingga aku khatam berpuluh kali. Tapi bagaimanapun itu, aku hanya ingin membahagiakan anakku dan hanya ini yang aku bisa (saat ini).

Lengkuas pun beranjak sedikit berlari mencoba menghampiri deretan mobil yang sedang melaju di jalan raya. Braaaaakkkkkkk...... sebuah mobil (entah warnanya apa) menghempaskan Lengkuas dari jalanan dimana dia berdiri.

Lengkuas meninggalkan sejumlah noda darah di sederet polesan polesan kosmetiknya, dengan kantung mata yang sedikit menggantung dan berwarna hitam (mengingat polesan kosmetiknya samar terhapus oleh tetesan darah). Lengkuas telah tiada dan ia tak berhasil memberikan THR tahun ini untuk keluarganya di kampungnya.

Harapannya telah pergi dan diganti dengan rupa rupa siksa di sana.

Lengkuas sebenarnya hanya mengharapkan THR saja.



Tuesday, 17 July 2012

Jalan Sempit vs Mobil Besar

Kali ini aku menulis tentang salah satu pengalaman pribadi dan keherananku terhadap perilaku manusia di ibukota negara ini. Mungkin gambar yang aku unggah ebrsama tulisan ini tidak terlalu merefleksikan judul dari tulisanku kali ini. Tapi pada pokoknya aku ingin menceritakan betapa memaksanya kehendak orang di Jakarta ini. Bagaimana tidak, memang sih di beberapa tempat Jakarta memiliki jalan yang agak lebar (aku menggunakan kata agak ya, karena jujur aku sendiri susah untuk menemukan jalan yang dapat dikatakan lebar), namun mayoritas jalanan di Jakarta itu kecil, sesak dan tidak dapat diragukan lagi tentang prestasi kemacetan kota Jakarta ini. Kota sentra bisnis, roda perekonomian sekaligus para birokrat pemerintahan menggunakan jalan pikiran untuk mengatur negeri ini.

Dengan kondisi jalanan yang kecil tersebut, terdapat beberapa perilaku yang sangat membingungkanku. Yakni penggunaan mobil berukuran jumbo, dumbo, giant alias raksasa bin besar. Masih bingung sekali dalam benak pikiranku hal apakah yang mendasari para si empunya mobil itu menggunakan mobil yang ekstra memakan jalan. Tidak jarang bahkan sangat sering aku menjumpai para si mobil mobil giant ini kerepotan sendiri tatkala melaju di jalan sempit sekaaaaaliiiiii dan harus berpapasan dengan kendaraan lain. Masih untung jika yang berpapasan adalah tukang gerobak pembawa gas bumi alias elpiji, coba kalau mereka sama-sama berpapasan dengan mobil giant pula. Yakin aku urat urat di kepala mereka akan bermunculan dan saling ngotot untuk siapa yang berhak berjalan lebih dahulu. Atau memang ini ya maksud dan kehendak mereka menggunakan mobil raksasa itu. Hmmm... tapi aku rasa mereka juga masih mikir kalau mereka berpapasan dengan mobil yang satu ini:
Pasti mereka akan kelabakan dengan mata melotot bagaimana bisa mobil segede ini ada di jalan seperti ini.

Nah pertanyaan yang sama kan pada akhirnya, banyak pemilik kendaraan bermotor atau mobil dengan tipe kecil yang biasa disebut dengan jabatan atau status city car bertanya keheran-heranan. Bagaimana bisa mobil family segede ini berjalan di gang-gang sempit. Kegores dikit aja, pasti langsung marah-marah. Perilaku orang kaya yang aneh. Mustinya ketika orang semakin kaya dan banyak memiliki harta, maka seharusnya tergores dikit ataupun banyak bukanlah sebuah permasalahan. oh kan dia masih punya banyak duit buat ngeganti tuh kerusakan. hmmhh... tapi entahlah, mungkin emang semakin kaya orang semakin tinggi rasa kekhawatirannya.

Kembali kemudian kepada perilaku kepemilikan mobil besar tadi, sampai saat ini aku masih bingung..kalau kemudian ada beberapa orang yang beralasan dengan memiliki mobil ekstra besar maka semua anggota keluarga bisa keangkut dalam satu mobil. Tapi pada kenyataannya, orang yang memiliki mobil besar masih memiliki mobil dengan ukuran medium. Lalu, apakah mobil besar besar itu hanya digunakan untuk pamer, sok mewah gagah dan menjajah?

Tulisan ini sebenarnya tidak mencapai titik dimana aku menemukan konklusi dari hal yang membuatku terheran-heran tersebut. Tapi pada intinya aku menarik kesimpulan bahwa sebenarnya dengan alasan apapun mobil gede-gede tidak cocok untuk digunakan di tengah kota. Mungkin memang benar atau layak apabila mobil giant tersebut digunakan untuk melakukan perjalanan jauh sesuai tradisi yaitu mudik. Mengingat perjalanan jauh kita membutuhkan ruang yang lega untuk sekedar bergerak, ngeluk boyok atau beristirahat dengan nyaman.

Dan heran lagi dengan orang ibukota ini, sudah mobilnya besar, otomatis kapasitas mesinnya juga besar dengan cc besar. Tentu saja otomatis konsumsi bahan bakar pun menjadi lebih besar. Yang lebih aneh lagi ketika kemarin minyak dunia mengalami kenaikan harga yang berimbas pada kenaikan harga bensin, merekalah yang mengeluh. Mobil mahal gede yang katanya yang punya adalah orang kaya kok pake premium bukan pertamax. Sungguh sebuah ironi kisah orang kaya di Jakarta ini.

Hmmhh... ya sudahlah, mungkin ini hanyalah sebuah cerita yang mungkin sangat bisa dibantah oleh orang-orang kaya pemilik mobil giant tadi..

Monday, 9 July 2012

Social Media vs Nge Blog

Judul yang aku pilih ini mungkin juga menimpa banyak kalangan. Tapi jujur tiada maksud untuk memunculkan pendapat mereka ke dalam pendapatku alias melakukan generalisasi paradigma. Jujur setelah beberapa waktu yang lalu muncul yang namanya social media yang meliputi Facebook, Twitter, Foursquare dan masih banyak lagi. Kemunculan social media akhir akhir ini menjadi salah satu faktor yang kemudian banyak orang menuliskan hal-hal yang merupakan ungkapan perasaan hati. Suka, duka, senang, sedih bahkan galau diluapkan dalam situs jejaring sosial. Sebelum kemunculan social media mungkin banyak orang mengungkapkan perasaan dalam coretan coretan tulisan melalui media blog.

Tapi kini, jujur aku akui sendiri menjadi sedikit kehilangan momen atau kata-kata untuk merangkai kata yang kemudian menjadi frase dalam blog. Karena saat ada kata yang ingin dicurahkan ingin diungkapkan social media menjadi piranti yang sangat memudahkan setiap pengguna dunia maya untuk mengungkapkan semuanya. Apalagi beberapa perangkat keras yang sangat mendukung dengan adanya teknologi social media tersebut. Tinggal tulis sebentar (gak perlu merangkai kata-kata yang panjang) langsung update, sudah deh dunia tahu mengenai segala apa yang terjadi pada diri kita. Meskipun tidak dipungkiri sewaktu waktu hal tersebut bisa menjadi bumerang untuk kita sendiri karena sebenarnya tidak semua hal yang kita alami bisa menjadi konsumsi masyarakat luas.

Berbeda dengan blog memang, meski orang bisa saja menulis pendek pendek dalam blog nya tapi orang bisa saja mengungkapkan perasaannya dalam suatu prosa yang tidak mudah dimengerti orang lain. Ungkapan perasaan yang indah atau sedih yang belum tentu setiap orang mengerti dengan arti tatanan kata yang dimaksud. Mungkin lebih cenderung menjadi makna yang tersirat. Dan kemudian etrangkai indah dalam suatu paragraph.

Dulu semasa aku sering banget bikin puisi dalam blog ku, mengungkapkan perasaanku, ketika aku baca sekarang aku sendiri tidak habis pikir, How did i do that? membaca setiap baris baris kata-kataku menjadi melemparku ke dalam masa masa yang lalu, masa masa saat aku berkutat di depan layar monitor komputerku dan mengungkapkan segala rasa yang ada di dalam hati.

Saat ini, meskipun aku juga merupakan pengguna dari social media tapi dalam hatiku juga terbesit untuk selalu merangkai kata dan mengungkapkan perasaan dan apa yang aku alami dan menumpahkan semuanya ke dalam paragraph yang tersimpan dalam blog. Seringkali juga disetiap kesempatan aku mengambil foto foto dari kondisi di sekitarku untuk kemudian aku persiapkan untuk menjadi bahan dari tulisanku ini. Meski tak jarang semua itu menjadi aku cancel karena sudah terlanjur aku upload di social media (menurutku jadi kurang berkesan saja).

Tapi aku akan tetap setia untuk menulis, entah itu puisi atau parafrase.

Saturday, 7 July 2012

Hunian Pertama

Setelah sesaat menikmati masa masa awal yang indah paska pernikahan, saatnya kami menghadapi kehidupan yang nyata. Kehidupan rumah tangga dalam pelukan kehangatan tinggal dalam sebuah keluarga. Karena kami sama-sama bekerja di ibukota negara Indonesia alias Daerah Khusus Ibukota Jakarta tentu saja kami memutuskan untuk berhuni atau tinggal di kota yang sumpek menurut kami. Karena harga rumah di Jakarta (bahkan di pinggiran Jakarta) mahalnya minta ampun, karena alasan waktu dan biaya maka kami memutuskan untuk mengontrak hunian dulu. Semoga saja hanya sementara..Aamiiin...

Istri saya bekerja di Jalan Gatot Subroto sementara saya bekerja di Jalan Ir. H. Juanda, maka kami harus bijak memilih hunian yang memudahkan akses kami ke kantor masing-masing. Tentu saja kami masih ingin bermanja-manja dengan tinggal di dalam kota Jakarta maka kami tidak ingin kami masih harus tersiksa dengan jauhnya jarak (mumpung belum berhuni di pinggiran Jakarta). Dengan berbagai pertimbangan dan rekomendasi dari salah satu rekan kerja, akhirnya kami memulai survey lokasi di daerah Slipi (sebenarnya kalau dalam pemetaan daerah namanya Palmerah. Bukanlah persoalan yang mudah untuk menemukan hunian yang cocok menurut kami berdua. Kadang aku cocok tapi istriku tidak cocok. Kami harus konsen ke hal tersebut, hehehe..tidak boleh egois satu sama lain.

Dengan perjuangan yang gigih akhirnya kami mendapatkan informasi dari rekan kerjaku yang mengatakan bahwa di daerah dia tinggal ada sebuah pavilium yang recomended untuk pasangan baru yang sedang mencari hunian sementara dan dekat dengan akses kantor yang aku sebutkan sebelumnya. Tanpa menyia-nyiakan kesempatan tersebut akhirnya kami meluncur ke pavilium yang disebutkan tersebut, sebelumnya aku juga diberikan nomor telepon si penunggu atau penjaga pavilium tersebut. Setelah menghubungi si penjaga pavilum tersebut akhirnya memang benar terdapat kamar yang kosong dan ditinggal penghuninya. Tentu saja kami langsung meluncur ke pavilium tersebut.

Dengan mengndarai si gendut aku memboncengkan istriku meluncur ke pavilium tersebut (sungguh keren sebenarnya kalau ada yang bisa mengambil gambar kami saat mengendarai si gendut). Dengan ancer-ancer Rumah Sakit Anak dan Bunda Harapan Kita dan petunjuk dari rekan kerjaku akhirnya kami menemukan hunian tersebut. Entahlah mengapa tiba-tiba ada rasa sreg dengan hunian ini, hunian ini memang berbentuk pavilium atau istilah jelaknya adalah rumah petak dimana satu kamar terdiri dari satu kamar tidur, satu ruang tamu, satu dapur dan satu kamar mandi. Sudah dilengkapi dengan spring bed,AC, lemari pakaian dan meja televisi. Dan pertimbangan akses ke kantor kami masing-masing pun tidak terlalu jauh (setelah melakukan observasi kami langsung mencoba rute ke kantor istriku dan kantor ku, 10 menit ke Gatot Subroto, dan 10 menit ke Juanda).

Akhirnya karena kami juga merasakan capai dalam mencari hunian di jakarta ini, akhirnya kami sepakat untuk menempati hunian tersebut. Dengan uang RP 1.500.000,00 hunian tersebut dapat kami sewa setiap bulannya. Tentu saja itu baru biaa sewa saja belum termasuk dengan biaya listrik yang kami gunakan.

Deal!!!!!
Akhirnya inilah hunian kami yang pertama setelah kami resmi menjadi suami dan istri.