Tuesday, 23 May 2017

Kamu boleh kok bekerja, tapi jangan ganggu kewajibanku, jangan ganggu hak anakmu

Pagi itu suasana hening di rumah keluarga Bobi. Bukan hari kerja dimana Bobi dan istrinya bekerja. Bukan hari liburan saat semua keluarga sedang pergi meninggalkan rumahnya. Dan bukan pula karena anggota keluarga belum bangun dari tidurnya.

Semua hening, tapi ada, terpaku membisu di ruang makan keluarga. Hanya terdengar hembusan nafas yang sangat samar. Sebelumnya memang terdengar suara sendok dan piring beradu. Tapi semua menjadi hening saat sang juru kunci rumah tangga menyampaikan gagasan atau memulai pembicaraan di pagi yang sebenarnya indah dan cerah itu.

"Aku ingin bekerja ayah"
Kalimat itu lah yang membuat suasana menjadi hening. Bukan hening yang mencekam. Tapi kalimat itu jelas jelas membutuhkan rentetan kalimat bahkan ceramah selanjutnya. Atau paling tidak membutuhkan sebuah jawaban atau penjelasan. Nah, nafas yang samar tadi menunjukkan geliat otak yang sedang berpikir. Otak yang membutuhkan asupan oksigen dari paru paru.


"Kenapa ibu ingin bekerja?"
Kalimat itulah yang berikutnya menggema di ruang makan. Jawaban yang runtut pun mulai meluncur sangat lancar sekali dari penggagas obrolan pagi itu. Membantu ekonomi keluarga, mengurangi beban suami, eksistensi diri, penghargaan terhadap orang tua yang telah menyekolahkan dan menggantungkan asa.


Kembali suasana menjadi hening. Bobi sebenarnya tahu jawaban apa yang benar atas penjelasan itu, tapi benar belum tentu baik bukan?. Musti mencari strategi agar jawaban yang benar itu bisa diterima dengan baik. Sudah banyak didengar di telinga Bobi, baik dari ilmu manajemen keluarga maupun dari ilmu agama, bagaimana pendapat tentang istri yang bekerja. Mulai dari degradasi harkat laki laki sebagai seorang suami yang mutlak merupakan tulang punggung keluarga, stigma sosial, terbengkalainya kewajiban dan hak anggota keluarga. Tapi di sisi lain Bobi juga mengerti, penghasilannya memang pas, tapi sebenarnya pas untuk kebutuhan keluarganya (ingat bukan tentang Alloh maha mencukupi, rizki manusia berusaha dan berdoa, hasilnya serahkan kepada Alloh SWT), Bobi juga mengerti pendidikan tinggi yang telah ditempuh istrinya memberikan peluang yang besar bagi istrinya untuk menunjukkan kepada dunia siapa dirinya (baca eksistensi), mengurangi beban suami? (wait, keluarga bukan beban, melainkan tanggung jawab yang menjadikan kewajiban suami untuk mencari nafkah untuk keluarga, so baca "keluarga itu bukan beban suami, melainkan tanggung jawab suami").

Tapi Bobi mengerti juga, jawaban jawaban tadi dapat memicu pertengkarang yang justru membawa musibah bagi keluarganya. Bagi suasana sarapan pagi itu.

"hmmmhhh...baiklah, Ibu boleh bekerja dengan syarat, pekerjaan Ibu tidak menggangu kewajiban ayah mencari nafkah untuk keluarga yang merupakan tanggung jawab ayah, pekerjaan Ibu tidak mengganggu kewajiban Ibu untuk mengatur rumah tangga keluarga, mendidik anak anak, dan menjadi tempat ayah untuk melepas lelah, membagi pengalaman hidup memberikan semangat untuk ayah dalam mengemban amanah dalam keluarga ini, oh iya, satu lagi pekerjaan Ibu tidak boleh mengganggu hak anak anak untuk dapat bermain bahagia bersama ibunya, hak anak untuk mendapatkan makanan lezat khas ibunya, serta pelukan hangat dari ibunya saat mereka mencurahkan segala pengalaman hari hari nya, pelukan hangat dari ibunya saat mereka mencoba menunpahkan air mata".


Aku Dirampok

Dunia ini katanya gemerlap
Penuh dengan warna yang bisa kuraih
Yang setiap saat bisa saja datang
Tapi bisa saja pergi


Dunia ini katanya hanya sementara
Tempat orang berpesta pora
Tempat tujuan untuk mencari
Mencari yang fana atau untuk selamanya


Dunia ini katanya berputar
Kadang di bawah kadang di atas
Tapi tak segan pula untuk menggilas 
Siapa yang tak bergerak


Dunia ini katanya tak terbatas
Segala bisa berubah tanpa batas
Bergerak kemana saja 
Tapi tak jarang pula kau terpaku pada satu titik
Titik di mana kau hanya terkunci 
Dalam satu ruang dalam satu waktu


Dunia ini katanya bebas
Bebas memilih 
Bisa sesuai hati atau ikut arus
Tapi terkadang banyak yang tidak tahu
Banyak hal yang dirampas


Dunia ini telah merampasku
Satu satunya istriku
Masa bermain anakku
Waktuku bersama keluargaku
Waktuku untuk mengadu kepada Mu

Tuesday, 16 May 2017

Tukang Cukur Langganan Pasar Petojo

Mmmmm....kali ini aku akan menceritakan tentang tukang cukur langgananku sejak aku bekerja di Jakarta tahun 2009 sampai sekarang. Sebenarnya sih mungkin bingung juga (dulu aku juga begitu) kenapa sih tukang cukur musti langganan, toh banyak kan tukang cukur di Jakarta, mulai dari yang 10 ribuan sampai yang jutaan (kalau yang jutaan sih otomatis sudah pasti g masuk list ku, ra nyandhak duit e), alat cukurnya toh juga sama, cara cukurnya (motong pakai gunting, sisir pakai sisir rambut alias jungkat) juga sama. Lalu kenapa musti ada preferensi khusus dalam memilih tukang cukur?

Nah, ternyata beda guys, beda tukang cukur beda style cukur nya. Meskipun gambar model yang ditempel di arena cukur sama tapi tetep aja berbeda hasilnya, bahkan dari awal start cukur juga udah beda awalnya. Ada yang selalu setia pakai gunting biasa, ada yang pakai gunting acak, ada yang mulai dengan mesin potong rumput, eh alat potong rambut yang menggunakan mesin maksudnya, ada yang mulai dari memotong bagian atas, ada yang memulai dari bagian samping. Dan itu guys, hasilnya berbeda.

Nah kan mustinya kang cukur (dibaca tukang cukur) mustinya selain memperhatikan keinginan customernya juga bisa memberikan saran atau arahan kepada customer untuk menyesuaikan model cukuran dengan bentuk wajah, bentuk muka dan bentuk kepala, serta jenis rambutnya. Nah inilah yang kadang membuay hasil cukuran rambut berbeda beda. Waton cukur sesuai yang diminta customernya, kalau hasilnya tidak sesuai kan rambut yang sudah dipotong tidak bisa dikembalikan lagi (wah bisa jadi peribahasa pengganti nasi bubur itu deh, rambut terlanjur dipotong).

Nah neh noh, aku sendiri juga di Jakarta udah beberapa kali berganti tukang cukur tapi g tau kenapa kok beberapa gak sreg atau gak cocok dengan model atau bentuk kepalaku. Ya hasilnya kalau jelek banget aku minta gundul sekalian atau ya terima apa adanya dengan catatan tidak kembali ke tukang cukur yang sama. Nah enggak tau kenapa aku justru cocok cukur di tukang cukur dekat kos ku dulu di daerah Petojo Enclek. Tepatnya di Pasar Petojo Enclek. Mmmm....mungkin beberapa orang miris, sedih, atau malah hoek hoek liat tempat tukang cukur ini. Ya maklum ini tempat cukur yang harganya masuk dalam segmen rendah (tarif 10 ribuan), berbekal kios dengan luas 3x2 meter, tiga kursi cukur, kipas ethek ethek ala kadarnya, dan piranti cukur yang semi modern (membahasa aluskan tradisional).

Nah tukang cukur ini biasa dipanggil mamang yana, aku juga gak tau sih siapa nama sebenarnya, tapi itulah sebutannya. Tukang cukur ini dari awalnya merupakan tukang cukur langganan para prajurit pengawal presiden (mungkin karena faktor lokasi yang dekat dan harga yang terjangkau mengingat model potongan prajurit kan standar seperti itu). Enggak tau kenapa kalau habis cukur disini tu aku merasa kok cocok ya hasil potongannya dengan bentuk kepalaku, ya tentunya pas awal aku sebutin modelnya (cuma bilang dirapiin tapi jangan pakai gunting sasak ya, itu lho gunting yang punya gerigi gerigi). Cuma memang ada beberapa kekhawatiran sih cukur di tempat seperti ini, ya melulu tentang kebersihan sarana dan prasarana cukur rambutnya, penularan penyakit dan asap rokok (maklum beberapa customer merokok saat menunggu giliran untuk dicukur rambutnya). Tapi bismillah aja lah, lha udah nyoba kelain tempat hasilnya selalu kecewa je. Entah dari rambut yang gak rata, kerokan yang gak lurus, dan lain sebagainya. So, meskipun sekarang aku udah tinggal di daerah Tangerang Selatan, kalau urusan cukur rambut aku akan menyempatkan diri untuk cukur di Pasar Petojo ini, ya untung saja lokasinya bisa kujangkau dengan berjalan kaki dari kantor. Meskipun nanti sisa sisa rambutnya tidak bersih maksimal, masih ada remah remah, eh masih ada rontokan rambut di baju kerja dan ditanyain temen gak gatel tuh, tapi ya gimana lagi namanya cocok tak bisa berpindah ke lain hati, eh ke lain tukang cukur rambut maksudnya. 

Ups..ngomong ngomong rambut udah grondong nih eh gondrong, saat nya meluncur ke Pasar Petojo ah....