SEJAK saya masuk sekolah, dari TK, SD sampai SMP, hidup ini terasa begitu indah. Kalau saya sangat dimanja, mungkin benar. Konon ayah dan ibu dulu sangat mendambakan tangisan bayi buah pernikahan beliau berdua. Sulit sekali ibu saya menjadi seorang ibu. Wajar bila kemudian saya lahir disambut dengan kebahagiaan yang luar biasa. Saya lahir 26 tahun lalu, di Kota Angin, dengan anugrah sebaris nama, Mawar Kaniawangi. Saya selalu bahagia dimanjakan ayah dan ibu.
Di akhir SMP, barulah saya merasakan apa itu kesedihan. Pertama, hati sedih waktu bertepuk sebelah tangan mencintai teman sekolah. Kedua, saat kekasih menikahi wanita lain. Pertemuan saya dengan pria itu memang secara tidak sengaja, namun meninggalkan bekas yang dalam. Meski saya bersikap acuh tak acuh, ia ternyata jatuh hati pada pandangan pertama pada saya. Kesedihan ketiga, setelah lulus SLTA, sedianya saya akan bekerja di perusahaan paman, tetapi karena krisis moneter, batal. Saya sangat sedih. Kesedihan terus, bertambah, antara lain, saat saya tahu pacar memutuskan hubungan.
Keadaan itu, membuat saya tak ingin keluar rumah. Saya terus mengurung diri. Tampaknya ibu melihat keadaan itu. Ketika ayah mendapat rezeki berlebih, saya ditawari kuliah. Alangkah gembira hati ini. Tetapi karena kampus letaknya sangat jauh dari rumah, saya terpaksa tinggal kos di sebuah tempat yang dekat ke tempat kuliah. Meskipun pada mulanya hati sedih karena harus berjauhan dengan ibu, namun lama-lama jadi senang juga, setelah saya mulai banyak teman. Apalagi saat ospek saya bertemu dengan seorang jejaka yang tampan. Ia kepala regu kami. Mulainya kami biasa-biasa saja, tetapi lama-lama benih cinta bersemi di hati kami. Pada acara perpisahan, ia mencurahkan isi hatinya, tentang patah hati. Katanya mantan pacarnya mengkhianati dia. Saya mulai tertarik. Pada malam itulah kami mulai "jadian".
Semakin lama hubungan kami semakin mesra. Ibu tidak menyukai hubungan ini, karena beliau ingin melihat saya lulus menjadi sarjana dulu. Namun karena cinta sudah melekat, apa pun yang dikatakan Ibu tak pernah membuat saya menjauhinya. Akhirnya, kami melakukan perbuatan yang hanya boleh dilakukan oleh sepasang suami istri. Saya bingung ketika ternyata perbuatan itu membuahkan janin dalam perutku.
Ibu marah. Beliau tetap bersikukuh saya harus lulus dulu, biarlah bayi itu digugurkan saja, dan saya harus kembali ke rumah, tinggal bersama ibu. Namun pihak medis memberi tahu, bila bayi itu digugurkan bahaya untuk keselamatan saya. Akhirnya Ibu menyetujui saya dinikahi dia, dengan syarat, saya terus kuliah, bila sudah lulus baru boleh tinggal serumah. Dia boleh datang kapanpun semaunya, tetapi saya tidak boleh ikut suami yang kini tinggal di kota lain. Saya menerima syarat itu dengan sabar. Waktu terus berlalu, saya lulus, begitu juga dia. Kami sudah sama-sama menjadi sarjana. ibu memperbolehkan saya ikut suami, tetapi anak saya harus tetap dengan ibu. Saya ikhlas meski hati pedih harus berjauhan dengan buah hati yang sangat saya cintai.
Setelah tinggal serumah, barulah terasa mengapa selama ini ibu kurang menyetujui hubungan kami dulu. Ternyata setelah kami berumah tangga, sifat aslinya mulai tampak. Suami saya ternyata seorang pemarah. Tersinggung sedikit saja ia selalu marah, bahkan pernah memukul saya. Pertengkaran sering terjadi dengan masalah yang sama. Ia tak suka kalau saya pulang ke rumah ibu. Saya rindu pada anak anak dia juga), mengapa tak boleh menengoknya? Setiap saya mengajak pulang ke rumah ibu, setiap itu pula terjadi pertengkaran yang sering kali diakhiri dengan pukulan. Sampai pada suatu ketika, saya mengajaknya pulang untuk menengok anak kami. Kali ini dia benar-benar marah. Saya pergi ke tempat kerja. Tiba-tiba ia membawa barang-barang saya ke kantor dan seolah-olah menyuruh saya pergi. Alangkah malunya saya oleh rekan-rekan sekantor. Saya segera pulang. Setelah pamitan kepada mertua, saya pulang ke rumah ibu. Saya mencium kaki ibu, menangis tak tertahankan. Saya mohon maaf, karena selama ini sudah mencoreng beliau dengan aib, bukannya membalas budi ayah dan ibu dengan sesuatu yang membanggakan. Apalagi setelah tahu ternyata suami saya berselingkuh dengan wanita lain. Rupanya selama ini, dia bingung memilih, dan hal itu dilampiaskan dengan kemarahan. Ternyata ia memang sudah menikahi wanita itu. Mereka berhubungan saat kami hidup berjauhan beberapa tahun lalu. Saya baru mengerti, ternyata selama ini ia mencari-cari alasan, agar bisa menceraikan saya. Rupanya ia memilih wanita itu dan mencampakkan saya. Akhirnya rumah tangga kami tak bisa dipertahankan. Kami bercerai.
Bertahun-tahun saya terpuruk dalam kesedihan dan keputusasaan. Namun sekarang saya mulai sadar, anak membutuhkan kasih sayang dan perhatian. Saya mulai kembali bersemangat. Saya ingin bekerja lagi, agar punya uang untuk hidup kami. Saya juga ingin mempunyai pendamping lagi. Saya terus memohon kepada-Nya, agar segera dipertemukan dengan pria yang baik dan bertanggungjawab serta mau menerima saya apa adanya. Ya Tuhan, masih adakah pria untuk menjadi pendamping hidup hamba selamanya? Masih adakah cinta sejati yang Kau-peruntukkan bagi hamba? ***