Monday, 16 March 2009

Malam Berhenti dan Bulan Pun Tak Berganti

Pagi itu aku berdiri sendiri. Di tengah gurun atau disebut padang batu. Karena seluas apapun aku memandang aku hanya melihat deretan batu-batu besar berwarna coklat kemudaan. Gersang. Ya, sagat gersang. Aku emmandang terik matahari. Begitu sombongnya. Panasnya membakar kulitku. Menyilaukan mata. Seolah tak mengijinkan siapapun untuk memandangnya. Sungguh sombong sekali engkau!!!. Angin yang berhembus sama sekali tak mengurangi panasnya pagi itu. Tiada burung berkicau. Tiada embun menampakkan dalam tiap-tiap butiran tanah yang kering. Sangat kering.

Tiba-tiba pun angin berhembus bertambah kencang. Semilir???tentu tidak. Angin itu hanya membawa buliran debu. Buliran batuan kecil yang melukai mataku kalo saja aku tak berkedip. Tak merapatkan mata.

Dari atas kupandang lagi. Matahari meredup. Mengalahkah ia. Kasihankah dia. Ternyata tidak. Ada sebuah batu besar melayang di atasku. Menggelapkan bayangan di sekitarku. Meneduhkan sementara dari terik matahari. Besar sekali. Batu itu besar. Melayang begitu saja. Bagaimana bisa???

Perlahan batu itu seolah jatuh perlahan. Turun dan turun. Aku menyingkir. Aku berpindah. Dan aku beralih. Perlahan aku melihat tiap sisi dari batu itu. Kasar dan tetap berwarna coklat muda. Bergaris sampai akut tak tahu apa motivnya. bukan batik bukan pula polos. Mungkin bersedimen.

Angin juga masih berhembus. Ku lihat sesosok manusia berkerudung di atas batu itu. Diam dan tetap berdiri. Berkerudung. Kerudung itu pun bergoyang terkena hembusan angin. Wajah tak tampak karena dia membelakangiku. Bersembunyi di balik kain panjang yang bergoyang di terpa angin.

Berhenti bergerak. Akhirnya batu itu pun terdiam. Diam. Dan tak bergeming. Anginpun sepertinya juga sepakat. Tak berhembus. Sepi. Sepi. Dan hanya sepi. Masih ku lihat sesosok itu tepat di depanku. Dan aku pun belum tahu siapa dia.

Angin kembali berhembus. Semilir kali ini berbeda dari yang tadi. Sejuk dan menyejukkan. Saat itu pula sosok di depanku membalikkan tubuhnya. Sedikit demi sedikit bergeser seratus delapan puluh derajad.Menampakkan wajahnya yang redup, teduh dan seolah aku mengenalnya. Ya, aku mengenalnya.

Seutas senyum melambai mengembang dari lembut wajahnya. Dan tepat semua pemandangan itu tepat berada di depan mukaku. Tepat di depan kedua mataku. Senyum itu pun semakin mengembang. Indah kurasa. Dan aku merasa. Ya, aku mengenal dia.

Sesosok manusia yang sering bersamaku. Menggapai mimpi. Menuliskan cerita-cerita baru. Menyatukan perasaan yang selama ini terpendam.

Mata kami saling beradu. Saling membisu. Namun dengan senyum yang mengembang. Dan kami pun tetap diam.

Tiba-tiba saja awan tak hitam namun hujan turun. Sejuk dan menyejukkan. Aneh memang aneh. Gemericik buliran air yang jatuh itu sama sekali tak membasahi kami. Serasa berada di bawah tameng tak kasat mata. Kami pun tersenyum.

Perlahan gurunn itu berubah. Rumput tumbuh seperti biji kacang yang ditanam oleh Oki di bantu Putri Nirmala. Tumbuh cepat dan pesat. Gurun berubah menjadi hijau. Rumput menggelar luas di bawahnya. Seluas aku memandang hanya hijau. Hijau dan hijau...sejuk sekali...dan aku hanya bersamamu berdua di sana. Tiada yang lain.

Matahari bahkan tak bisa bersombong. Dan akhirnya dia pun tenggelam. Menghilang begitu saja. Sesaat langit menjadi gelap. Tak tampak sama sekali pun benda yang ada. Bergantilah menjadi bulan. Bulan yang tak penuh. Tak bulat penuh. Hanya sebagian saja yang nampak. Bulan sabit biasa orang menyebutnya.

Lama bertengger bulan itu di atas kami. Kami pun duduk di atas rumput yang tadi siang berwarna hijau. Entah sekarang berwarna apa tak tahu karena samar suasana malam. Tangan mu dan tanganku berpaut. Menatap indahnya bulan yang sendirian. Tak satupun bintang yang ada di sampingnya. Sendiri dan sendiri.

Namun kita berdua. Berdua dan bersama. Bertautan tangan menggenggam waktu. Lama dan lama. Diam dengan senyum yang mengembang. Bahkan seiring waktu engkau sandarkan kepalamu di bahuku. Masih tetap diam dan hanya senyum berkembang. Malam seolah berhenti dan bulan juga tak berganti. Malam itu tiada berakhir. Sampai hal ini aku tulis aku rasakan dan aku ceritakan. Malam itu juga belum berakhir. Aku masih bersamamu melihat bulan sabit. Bersandar dan berpautan tangan. Kita terdiam dan tersenyum mengembang.

Aku bersamamu....
Di padang rumput yang paginya berwarna hijau
Melihat bulan yang sendirian

Bersamamu
Bersamamu
Diam dan tersenyum