Hari itu hujan rintik-rintik membasahi ibukota. Sejak dari adzan subuh berkumandang hingga tengah hari langit masih memuramkan raut wajahnya. Tetesan air hujan dengan cepat membasahi tanah Jakarta yang tak lagi berwarna coklat. Kehitaman beralaskan bebatuan. Air menitik hingga akhirya menggenang. Merendam alas kaki yang hilir mudik berjalan tuk meraih mimpi.
Sajadah kulipat saat matahari mulai tegak berada di sisi balik punggungku. Menapak perlahan namun tenggelam di balik awan yang bergelimang dengan air hujan. Merayap perlahan aku menenggelamkan keraguanku untuk berjalan. Helai-demi helai kain membalut tubuhku. Bersiap diri tuk nikmati hari.
Rencana yang telah lama tergambar dalam hati. Bersuka cita di Kota Tua bersama seseorang yang ku puja. Bercermin dan katakan…Kota Tua…hari ini aku datang..
Gemeretak anak kunci tlah berputar di lobang kunci. Menutup pintu membakar semangat tuk tinggalkan kamar tidurku yang dingin senantiasa mengajakku tuk terlelap. Detak langkahku perlahan meninggalkan kost. Satu, dua, tiga bahkan entah berapa langkah aku berjalan.
Mendengarkan musik tak terkira aku sudah berada di dalam angkot 08. Kota – Tanah Abang. Menjemput pujaanku tuk lalui hari ini. Stasiun Tanah Abang. Pemberhentian pertamaku. Tuk menuju Stasiun Pondok Ranji dimana aku melanjutkan perjalananku menjemput kekasihku. Hiruk pikuk manusia mendengar ocehan. Berlari berjalan sama saja. Hanya untuk meraih mimpi.
Sampailah aku di Staisun Pondok Ranji. Stasiun kedua dimana KRL Serpong Express berhenti setelah Stasiun Kebayoran Baru. Stasiun dimana aku sering turun untuk menjemput kekasihku. Kulanjutkan perjalanan dengan menyusuri tanah yang basah karena siraman air hujan. Menggenang namun sedikit berwarna merah kecoklatan karena masih sedikit tersisa tanah di sana. Hingga aku melihat angkot berwarna putih bertuliskan angka 09.
Duduk di dalam angkot yang belum penuh sesak penumpang. Masih setia dengan MP3 Player yang aku putar. Dimana earphone masih tak beranjak dari sepasang telingaku. Hingga mengantarkanku di depan kost De’...Q...
Senyum indah menyambutku pagi itu. Air mata berbinar ada di sana. Canda tawa merekah di antara langkah-langkah kami. Tak membisu meski semenitpun.
Hujan mengiringi langkah kami menuju kota tua. Namun tak menyurutkan kobaran api asmara yang menghangatkan pagi yang dingin saat itu. Hingga payung tersibakkan di atas kepala kami. Berpayung namun tetap basah.
Hingga tibalah kami di Kota Tua (tentu saja perjalanan menggunakan KRL AC Ciujung dan angkot 08 penuh dengan canda suka). Kaki ini berhenti sejenak, mata terseruak tajam melihat bangunan Kota Tua. Arsitek lama yang tetap dipertahankan. Termasuk jamur-jamur yang bertebaran dalam setiap hamparan tembok-tembok nan lusuh.
”Kenapa sih enggak dibersihin, kan bisa bikin bangunan lapuk”.
Tempat pertama yang kami singgahi adalah museum Fatahillah. Banyak benda-benda bersejarah dipajang disana. Ruang-ruang yang didesain sedemikian rupa mencirikhaskan bangunan Belanda. Pintu, Jendela, Kursi dan meja yang besar-besar. Terbayangkan bagaimana orang jaman dulu bersusah payah untuk membuka jendela saat pagi hari karena jendela itu terletak tinggi dan besar di atas ketinggian 3 meter. Sempat bergidik saat melihat penjara di bawah bangunan nan megah itu. Inikah tempat orang Indonesia dulu yang mengorbankan tiap tetes darahnya untuk bumi pertiwi ini?ruangan yang sungguh gelap,sempit dan pengap. Bahkan ada penjara yang didesain penuh dengan air, apakah dulu para pahlawan dipenjara dalam kubangan air tersebut?Pahlawan, aku bangga pada mereka. Pahlawan adalah orang yang berkorban demi bangsa negara ini. Tepat sudah kalo mereka menyanyikan lagu ”....bagimu negeri,jiwa raga...kaa...mi...”
Usai sudah kami berjelajah di Museum Fatahillah. Mengirup udara segar kembali di halaman museum. Krukkkk....Tak sadar pagi ini kami belum sarapan. Membuka tas mencari tempat duduk. Membeli es krim (padahal hujan telah cukup mendinginkan hingga sungsum tulang). Hew...
Coklat pun memoles tiap sudut bibir kami. Selesai sudah kami bercengkerama dengan es krim cone. Langkah kami kembali tertuju pada museum. Museum Wayang. Tak sebagus Museum Fatahillah memang, karena di situ kami tak banyak melihat sisi sejarah di sana. Tak lama pula kami singgah di sana karena tak banyak barang yang dipamerkan.
Masih ada beberapa museum berdiri kokoh di sana. Meski tak serapuh bangunannya. Namun hati ini tertuju pada jasa persewaan sepeda. Pandangan mata tertuju pada sebuah sepeda mini berwarna merah jambu. Sejam Rp. 20.000,-. Terbayar sudah sepeda selama satu jam. Membaca peta di brosur yang kami dapatkan di Museum Fatahillah. Tertulis di sana Jembatan Kota Intan. Jembatan bangunan Peemrintah Belanda jaman dahulu kala. Jembatan yang bisa dibuka untuk kapal yang mau lewat.
Bersepda kami menuju ke sana. Sungguh saat yang sangat membahagiakan. Bersepeda dengan kekasih pujaan hati. Menapaki jalanan Kota Tua. Kayuh demin kayuh tak menyurutkan kisah indah hari itu. Keringat bertetes namun di seka segera oleh dia. Membasuh capek dengan rautan senyum bahagia.
Sungguh saat yang berbahagia bersepeda dengan penuh gelora asmara. Gelora asmara di Kota Tua...