Lengkuas (bukan nama sebenarnya), demikianlah orang memanggilku di wilayah ini. Yah, sebagai seorang wanita berumur 25 tahun aku sudah demikian terkenal. Bahkan aku dapat dikatakan adalah seorang bintang di wilayah ini. Wilayah tempat aku bekerja. Seantero manusia yang paling tidak pernah masuk ke dalam wilayah kerjaku ini sudah pasti mengetahui tentang keberadaanku. Tentu saja tidak cukup tahu namaku saja, melainkan bentuk tubuhku dan paras wajahku wereka pasti menetahuinya. Kalaupun tidak mereka pasti sudah memiliki gambaran akan aku.
Ramadhan. Yah bulan ini merupakan bulan penuh ampunan (menurut ceramah di masjid yang sering terdengar melalui pengeras suara di masjid seberang jalan). Bulan disaat orang orang mulai khususk beribadah mengharapkan limpahan rahmat dari Sang Pencipta. Banyak masjid yang mendadak ramai. Lebih ramai dari kondisi yang sebelumnya. Banyak suara orang mengaji di malam hari. Bahkan sampai larut malam. Masjid yang menyala lampunya ketika dini hari. Si penghuni masjid berteriak teriak entahlah menyebutkan apa, tapi terdengar dari kejauhan ada maksud mereka membangunkan orang yang masih tidur untuk segera bangun untuk menjalankan sahur.
Tapi tidak untuk aku.
Di ujung bulan penuh rahmat ini (ini juga aku dengar dari pengeras suara masjid yang sama, masjid di seberang jalan)terdapat hari yang disebut hari penuh kemenangan, dimana setelah sebulan penuh berharap rahmat dari Sang Pemilik dunia ini, menahan hawa nafsu. Tapi entahlah apa kemudian mereka akan meledakkan semua hawa nafsu yang tertahan atau apa. Apapun itu sepertinya tidak begitu berpengaruh untukku. Dalam sebulan ini adapula yang sibuk mempersiapkan untuk hari kemenangan tersebut. Baju baru, kue-kue, perabotan baru bahkan mungkin cat rumah yang baru atau sekedar keset atau taplak meja yang baru.Menyiapkan uang pecahan kecil untuk kemudian dibagikan kepada sanak saudara.
Sedangkan untuk aku?
Aku muslim. Aku sholat.Aku Puasa. Syahadat pun sudah sering aku lantunkan disaat saat sayup aku mengaji. Tapi aku sering merasakan rataban nasibku yang tidak menentu. Dan Ramadhan ini dan Ramadhan sebelum-sebelumnya menjadikan aku tersiksa akan hari kemenangan itu. Hari yang menjaminkan beberapa hal yang baru untukku dan untuk keluargaku (terdiri satu anak saja, aku ditinggalkan suamiku entah berapa tahun yang lalu). Ramadhan adalah bulan sepi untuk pekerjaanku. THR yang aku harapkan pun justru bertentangan dengan organisasi masyarakat bahkan kebijakan pemerintah. Salah salah justru semua lenyap dengan dinginnya suasana bilik jeruji besi. Ah, entahlah yang jelas di bulan Ramadhan pendapatanku selalu turun drastis. Meski aku menyandang gelar bintang di wilayah kerja ini, tapi tetap saja di bulan Ramadhan ini aku tidak menjadi sebuah pilihan yang istimewa. Bahkan aku harus bersaing dengan pekerja sesama profesiku yang bergelar teri atau kacang.
Semua demi THR yang sering dipanjangkan menjadi Tunjangan Hari Raya. Agar aku bisa mempersembahkan hal-hal yang baru untuk permata hatiku. Salsa namanya (kali ini aku sebutkan nama sebenarnya dari anakku satu-satunya yang sekarang tinggal bersama kakek dan neneknya di kampung nun jauh di sana). Agar aku bisa paling tidak membelikan kain untuk kedua orang tuaku yang sampai saat ini tidak tahu apa profesiku. Dapat membelikan mereka kue atau sekedar oleh oleh dari kota yang banyak disebut sebagai kota mencari uang (meskipun banyak orang yang terjebak di kota ini dengan istilah yang satu ini, termasuk aku)
Oh iya, aku belum cukup memperkenalkan diri. Untuk nama asliku, mohon maaf karena aku tidak ingin kepopueranku merambah dunia maya maka aku hanya menyebutkan nama smaranku. Aku adalah putri daerah yang berasal dari salah satu desa terpencil di Provinsi Jawa Timur. Aku sekarang mengadu nasib di kota ibukota, kota megapolitan, kota industri dan pusat kota administrasi negara. Aku bekerja di kawasan segitiga emas di Jakarta Barat. Bukan segitiga emas Jalan Sudirman tentu saja. Aku bekerja di sini juga bukan keinginanku sebenarnya. Penyalur kerja yang bangsat yang dulu menjanjikan aku untuk bekerja di sebuah minimarket. Yang kemudian memperkenalkanku dengan seorang laki-laki yang pernah aku cintai, dan bahkan sempat menjadi suamiku. Tapi kini pergi meninggalkanku dengan menancapkan luka besar yang menganga. Hingga akhirnya aku harus bergelut dengan nafas dan keringat dari orang yang mempekerjaiku atau istilahnya mengerjaiku. Meski mereka bau ataupun apa aku tidak peduli, aku hanya peduli pada lipatan lipatan kertas yang temuat dalam dompetnya. Tentang rasa atau kenikmatan (cuih, sambil meludah) tiada lagi yang dapat aku rasakan. Dan aku rasa itu tiada penting. Yang penting adalah kebahagiaan anakku nun jauh di sana.
Tentu kalian sudah bisa menebak apa profesiku bukan?maaf aku tidak bisa berlama-lama menjawab setiap pertanyaan, karena aku harus berjuang demi THR. Meski aku sadar jalan yang kutempuh ini adalah bukan jalan yang diajarkan oleh para guru agama di sekolah dasarku dulu, bukan ajaran dari kyai yang mengajarkanku bagaimana membaca kitab suci dengan merdu hingga aku khatam berpuluh kali. Tapi bagaimanapun itu, aku hanya ingin membahagiakan anakku dan hanya ini yang aku bisa (saat ini).
Lengkuas pun beranjak sedikit berlari mencoba menghampiri deretan mobil yang sedang melaju di jalan raya. Braaaaakkkkkkk...... sebuah mobil (entah warnanya apa) menghempaskan Lengkuas dari jalanan dimana dia berdiri.
Lengkuas meninggalkan sejumlah noda darah di sederet polesan polesan kosmetiknya, dengan kantung mata yang sedikit menggantung dan berwarna hitam (mengingat polesan kosmetiknya samar terhapus oleh tetesan darah). Lengkuas telah tiada dan ia tak berhasil memberikan THR tahun ini untuk keluarganya di kampungnya.
Harapannya telah pergi dan diganti dengan rupa rupa siksa di sana.
Lengkuas sebenarnya hanya mengharapkan THR saja.