Rendezvouz
Akhir-akhir ini otak sering berbenturan dengan benda keras, amat sangat. Sekeras batu kali yang menganga di aliran sungai bekas muntahan lahar dan kokoh menghadang arus. Susah payah harus dijalani karena memaksa otak untuk kembali mengingat masa silam, entah, itu kejadian berapa tahun lalu. Sulit sekali untuk sekedar mengingat deretan huruf yang membentuk kata-kata didalamnya.
Benda keras itu ternyata angan, ingatan. Apakah gerangan? Ternyata tentang memori dan harapan yang pernah terjalin di dalam baskom milik bersama. Baskom itu berisi canda, tawa, suka, dan duka. Masing-masing berjejar membentuk kumpulan tanpa bentuk, senantiasa memanggil ingatan untuk kembali pulang.
Batu-batu itu tak datang atau jatuh dari langit. Ia hadir sebagai bagian dari proses panjang dari penggalan-pengggalan kisah lama yang saat ini sedang diupayakan untuk disatukan lagi meskipun tak mungkin seperti semula. Disatukan dalam retakan-retakan ingatan yang masih tersisa, hanya mencoba menge-lem-nya agar rekat untuk sementara.
Bayangan itu semakin menguat saja seiring kata yang meluncur deras dan membangunkan memori. Memang, ini hanya sekedar beromantika tentang masa lalu yang telah membentuk hari ini. Tentang kejadian yang telah menciptakan jalan bagi hari ini dan harus ditapaki sendiri-sendiri. Tak tahu lagi kemana saja mereka pergi dan meninggalkan semuanya, apakah di peraduan atau masih melayang dan terbang bebas di angkasa.
Langkah kaki yang berat semakin jelas tergambar. Bukan karena beban sayang, ini hanya karena keinginan untuk menumpahkan semua ingatan yang telah tertumpuk dalam-dalam. Tertumpuk di dasar samudera kejadian dengan aneka warna pembentuknya, juga rasa yang membumbuinya. Pahit, asam, manis, dan asin bercampur jadi satu hingga sulit untuk membedakan satu sama lain. Hanya ada satu keinginan, pertemuan.
Sayang, ini bukan karena ingatan biasa yang kemudian dimunculkan begitu saja, jangan kau tanyakan lagi. Ingatan ini sangat erat dengan harapan. Berkelindan dalam waktu tak singkat dan terus berupaya dihidupkan kembali. Menjadi berat karena didalamnya bercampur antara memori dan harapan yang disusun di atas tanah kebersamaan.
Bukan karena ini dan itu kemudian ingatan itu dimunculkan tiba-tiba, terlalu kecil ihwal tersebut untuk sebuah “hajat” besar. Terlalu remeh-temeh jikalau hanya bersandar keinginan tanpa tujuan. Di dalamnya juga mengandung tanggung jawab, bukan pada diri-sendiri saja, melainkan untuk semua. Seperti saat janji dikumandangkan, susah senang ditanggung bersama dalam suka dan duka. Bertanggungjawab atas sebuah proses yang nantinya bisa dinikmati dalam cawan kebersamaan.
Semua itu butuh jalan, perlu proses. Ada kalanya kehendak tak bisa dipenuhi oleh kenyataan, atau sebaliknya. Inilah yang sedang terjadi, bergelanyut dan siap membuncah setiap saat. Tentang pertemuan itu. Sebuah pertemuan “agung” diantara kejaran waktu seperti halnya kayu yang tak sempat berkata apa pun kepada api hingga menjadikannya abu. Sangat cepat, tak terduga. Namun, itu adalah kenyataan dan siapa pun sulit untuk mengubahnya. Mungkin bisa disiasati di setiap huruf yang hilang didalamnya.
Semakin tak sabar untuk menunggu itu. Namun, semakin dekat, kesedihan semakin menjadi. Itulah resiko yang harus ditanggung karena pilihan. Meski demikian, laari bukanlah jawaban, harus dihadapi. Pertemuan itu. Ya, harus menjadi dan terus terjadi meski batu lahar itu terus tegak menantang.
Copied from Irvan
No comments:
Post a Comment