Menjalani kehidupan di tatanan ibukota negara Republik Indonesia. Sudah hampir satu tahun setengah aku menjalaninya. Meraih mimpi, mendayagunakan ijasah kuliah yang telah kutempuh selama 4 tahun. Di sebuah institusi lembaga negara yang masih prematur. Masih kehilangan identitas sebagai sebuah lembaga negara. Sebuah lembaga negara yang dilahirkan karena banyaknya kontroversi. Orde baru, campur tangan asing melalui IMF, syarat pinjaman dan berbagai kepentingan politik lainnya.
Menjalani kehidupan di sebuah institusi yang memiliki fungsi pengawasan. Memiliki kesan dan pengalaman tersendiri. Selayaknya pengawas, memiliki kewibawaan yang dapat membuat orang menundukkan muka. Memicingkan pandangan.
Namun entah, hanya aku yang merasakan atau memang sudah kebudayaan yang melekat dalam lembaga ini. Maklum, aku masuk lembaga ini ketika lembaga ini sudah berumur 9 tahun. Kebanggaan tersendiri ketika awal masuk aku dapat diterima bekerja di intitusi di awah lambang Garuda. Garuda yang memuat simbol-simbol yang sedikit terejawantahkan oleh beberapa orang terdahulu. Pengejawantahan yang dilihat dari jumlah bulu dan sisik. Lambang yang tergores jelas di perisai badan burung Garuda. Kebanggaan dan kebahagiaan yang muncul setelah melihat bunda berganti air mata. Linangan air matanya menandakan rasa syukur. Setelah sebelumnya lama tenggelam dalam doa dan pengharapan. Suara doa yang memecah sunyi di tengah dininya hari. Sebelum mentari berangkat memecah mimpi di balik awan.
Terima kasih bunda. Doamu telah mengantarkanku untuk hidup di Jakarta. Telah mengantarkanku ke institusi berlambang garuda. Aku tidak pernah membayangkan ini bunda. Namun terkadang masih terbesit dalam hati ini, untuk menggali potensi diri mencari yang terbaik. Namun terkadang juga aku jengah melihat semua ini. Setelah melihat kondisi internal kebanyakan lembaga milik pemerintah. Yang senantiasa mengibarkan bendera merah putih di halamannya. Namun kepribadian mereka tidak mencerminkan penghargaan kepada setiap tumpah darah yang telah ditumbangkan demi berkibarnya bendera itu. Setiap engah nafas yang tersumbang demi terciptanya kemerdekaan. Meskipun ada segelintir orang yang mempertanyakan. Apakah sebenarnya mereka yang hidup pada jaman dahulu memang menginginkan kemerdekaan ini. Kemerdekaan menjadi satu bangsa. Bangsa Indonesia.
Namun apa daya aku sebagai seorang manusia. Yang aku sadari memiliki keterbatasan segalanya. Sehingga terkadang aku menilai diriku sendiri bahwa aku ini cukup mendapatkan ini semua. Ya, semua ini telah cukup untukku. Melihat dari kemampuanku. Semua ini cukup sepadan untukku.
Jakarta. Ya, aku hidup di Jakarta. Banyak orang yang mengatakan bahwa ini adalah kota terbesar nomor satu di tlatah Indonesia. Tempat dimana perputaran uang terbesar di negara ini. Tempat beradunya suku bangsa dalam mencari penghidupan. Bahkan rela meninggalkan sawah dan ladang hanya untuk menjadi pengemis karena tak tahu mau apa di Jakarta. Aku sering melihat kehidupan di jalanan. Sungguh miris benar. Karena aku pernah bercakap dengan mereka, dan mereka benar-benar meninggalkan kampung halaman demi meraih mimpi di Jakarta. Mimpi-mimpi yang sempat terlukis di benak mereka puluhan tahun yang lalu. Namun apa lacur, semua itu sirna setelah mereka menyadari bahwa kota ini terlalu kejam buat mereka. Namun apa hendak dikata, mereka juga tak sanggup lagi untuk kembali kampung halaman. Sehingga mereka hanyalah menjadi sebuah cerita di kampung halaman mereka sendiri.
Hal ini yang senantiasa membuatku senantiasa bersyukur. Senantiasa menengadahkan tangan untuk memohon ampun. Menengadahkan tangan untuk memohon ampun. Aku sering tidak bersyukur. Aku sering memunafikkan rahmat yang kuasa. Maafkan aku Tuhan. Aku tahu hamba banyak dosa. Aku sadar hamba seorang manusia yang berlumur dosa. Hamba yang engkau anugerahkan dengan hawa nafsu. Yang selalu mengingikan sesuatu lebih dari yang hamba miliki. Hamba sadar ya Tuhan. Hamba hanyalah milik Engkau. Hamba hanya akan kembali pada Engkau. Hamba sadar ya Tuhan.
Kemudian kehidupan asmara. Dulu aku memupuskan hatiku untuk menyayangi orang melebihi aku menyayangi aku sendiri. Sampai hati ini terusik. Seorang perempuan menggoda lewat mimpi-mimpi. Lewat harapan-harapn yang tertuang dalam gelora kehidupan. Aku bersikeras untuk menolak itu semua. Aku bersikukuh bahwa logika ku ini benar. Perasaan itu lemah.
Namun itu semua salah. Logikaku yang angkuh. Keras layaknya batu, perlahan mencair. Perlahan meleleh seperti kerasnya batu yang tergerus tetesan air. Akhirnya aku menyayanginya. Akhirnya semua mengantarkanku pada kisah asmaraku yang aku janjikan menjadi kisah asmara terakhirku. Ku janjikan menjadi kisah asmara yang akan mengantarkanku pada hidayah Tuhan. Mengantarkankanku pada rahmat dan barokah Tuhan. Amiin...
Kisah asmaraku berlalu saja. Walaupun tidak dipungkiri banyak kisah di sana. Yang itu tak mungkin aku ceritakan di sini. Biarlah semua cerita itu hanya aku, dia dan Tuhan yang tahu. Ada tangis tawa di sana. Ada banyak toreh senyum yang mengembang di sana. Ada linangan air mata. Ada harapan-harapan yang terlempar ke angkasa. Ada janji-janji yang tertoreh seolah kehidupan ini akan lama dan akan berakhir bahagia. Namun semoga saja Tuhan masih mendengar harapan-harapan itu. Sehingga harapan itu akan menjadi kenyataan. Amiin...
Cerita ini hanyalah untuk mengisi waktu di sela pemeriksaan di Palembang. Tak kunjung datang pihak yang diperiksa. Tak kunjung usai waktu senggang ini. Namun kunjung usai inspirasi yang melekat. Hingga akhirnya kuputuskan untuk mengakhiri tulisan ini.
Palembang, 13 Agustus 2010
No comments:
Post a Comment