Wednesday, 21 March 2012

Dini Hari Aku Diingatkan



Aku tertidur agak larut malam ini
Cahaya monitor menghantarkanku melelapkan mimpi
Memelukku dengan bayang-bayang si Serigala Api
Menidurkanku tanpa dalam kondisi yang suci

Aku terlelap tanpa wudhu
Bahkan tanpa berdoa terlebih dahulu
Bahkan mungkin saja jajaran mimpi makziat menggelayuti tiap sensor urat syarafku

Niat sebenarnya sudah ada sore hari
Bangun dini untuk menghadap Illahi
Alarm sudah aku set pada pukul 03.30
Sepertiga malam terakhir yang baik untuk menghadapNya

Alarm berbunyi
Pas pada pukul 03.30
Tak tanggung-tanggung
Dua nada alarm berbunyi

Aku terbangun
Ya aku terbangun

Tapi mata ini hanya tersenyum menatap angka digital di Handphone
"ah, masih jam 03.30, setengah jam lagi aja deh"
Kemudian tubuh ini mulai meringkuk kembali
Memeluk guling yang sedari tadi malam menengadahkan tubuh untuk kutiduri

Aku bermimpi,
Dalam tidur kedua ini
Aku mendapati hal yang sangat duka
Hal yang membuatku menangis meronta
Dimana aku kehilangan orang tua
Tidak tanggung-tanggung
Dua-duanya sekaligus meninggalkanku
Dalam waktu yang tidak jauh berbeda

Dan anehnya,
Aku baru mengetahui itu dalam setelah aku tebangun dari tidur
Tidur dalam alam mimpiku

Dalam mimpi itu
Semua terbata mengatakan berita duka itu
Semua tak mengira aku akan melewatkan saat terakhir jumpa mereka
Dan aku hanya bertanya
Kanapa kalian tidak memebritahuku?
Dan mereka menjawab
Kami sudah memberitahumu
Kami sudah berusaha untuk membangunkanmu
Tapi rupanya engkau masih terlelap dalam mimpimu
Maka kedua orang tuamu pun kami kuburkan
Karena bumi dan Illahi telah menanti

Dalam mimpi itu pula
Aku melihat nanar mata kedua adikku
Mungkin dalam batin mereka
Mereka tak mengira
Aku sedemekian lelapnya
Bahkan kematian orang tua tiada bisa membangunkanku

Aku menangis
Aku menangis sejadinya
Aku menangis tiada kuasa
Aku menyesal
Aku menangis lagi sejadinya

Sontak, aku terbangun
Jam 04.30 saat adzan subuh mulai berkumandang
Istighfar aku lantunkan sedemekian sering
Aku memuji dan memohon ampun pada Nya
Aku tertunduk malu dan bersandar salah

Wednesday, 14 March 2012

Fave Hotel

Sudah terngiang lama di telingaku kalau di Kota Surabaya ini ada hotel yang namanya Fave Hotel. Hotel bintang dua yang mungkin bisa masuk budget kalau sedang melakukan perjalanan dinas pake uang negara. Nah, kejadian lah kemudian pada akhirnya aku dapat jatah perjalanan dinas alias diutus oleh surat tugas yang mengharuskanku untuk pergi ke Surabaya. Biasanya sih aku bisa menginap di hotel Santika, bahkan bisa di Bumi Surabaya sekalipun. Namun semenjak ada perintah dari Biro Administrasi akhirnya susah untuk menginap di hotel yang memiliki klasifikasi bintang 3 atau bahkan bintang 4 (kalau bintang 5 gak akan lah, secara sekelas staf gini).

Nah kalau untuk hotel kelas bintang 2 sih sebenarnya aku pernah juga menginap di hotel Cendana atau Hotel Bisanta Bidakara Surabaya. Namun entah ada apa pada bulan Maret 2012 ini kondisi hotel sudah penuh. Kalau dengar dari sang resepsionis sih ada pertemuan dari salah satu kementerian di negeri berlambang garuda ini. Yah apa boleh buat, kalau ke hotel Jasmine Class tentu saja itu bisa dilakukan, namun karena pada saat yang bersamaan aku harus mendampingi bapak-bapak yang sudah sepuh yang menurut saya bukan orang yang saatnya bersusah-susah alias di ajak nelongso, ya jadinya niat untuk di hotel Jasmine Class pun dibatalkan. Oh iya, alasan untuk memilih Jasmine Class bukan untuk memperoleh margin lho..melainkan karena pagu yang tertera dalam standar biaya umum dari kementerian pengelolan keuangan negara menurutku sudah tidak sesuai dengan kondisi harga hotel yang ada. Jadi musti putar otak dong, tidak mungkin kita nombok, toh untuk pertanggungjawaban kepada negara ini yang aku sodorkan adalah kuitansi atau bill dari hotel yang aku jamin tidak bisa dilakukan negosiasi (lagian aku malu untuk melakukan negosiasi yang sering disebut mark up itu).

Nah, akhirnya tinggal Fave Hotel Surabaya yang tersisa dari pilihan aku. Sebelumnya pernah didengar kalau Fave Hotel itu hotel yang memiliki diskotik di lantai palaing atas yaitu lantai tujuh. Memang benar sih di lantai paling atas hotel ini terdapat Blow Fish apa pokokny tempat buat diskotik alias joget joget gila gitu. Nah namun sykurnya aku dapat kamar di lantai dua yang notabene jauh dari keramaian jedag jedug musik dugem atau ajojing.

So far hotelnya nyaman, meski kamarnya agak kecil dan penilaian banyak orang lalu lalang untuk keluar masuk diskotik gak terbukti tuh toh aku berada di kamar terus sih soalnya..ahiahiahi...

Fave Hotel so far so good...ini bukan maksud iklan yah, cuma menjelaskan kondisi yang ada pada saat aku menginap di Fave Hotel Surabaya...

Saturday, 10 March 2012

Singapura

Akhirnya untuk kali pertama aku menapakkan kaki ke negeri orang. Negeri yang memiliki warna bendera berbeda. Singapura...yah Singapura. Tak pernah aku bayangkan kapanpun sebelumnya aku akan ada di negara antah berantah ini. Negara yang menolak perjanjian ekstradisi dengan negaraku yaitu Indonesia. Negara yang menurutku memiliki peradaban lebih maju daripada negaraku. Negara yang menurutku memiliki mawas diri yang tinggi, ketertiban dan rasa malu untuk melanggar ketertiban. Negara kecil namun memiliki pertumbuhan ekonomi yang tinggi, bahkan mungkin bisa lebih tinggi daripada Indonesia. Negaraku sendiri yang sebenarnya sangat kaya akan sumber daya. Tapi apa daya lah, semua menjadi sekedar komparasi saja dan menunggu perubahan....Berikut oleh-olehku dari negara berlambang Singa yang memuntahkan air dari mulutnya. Cekidots













Sunday, 4 March 2012

Apa Seperti Ini Tiada Pingitan?

Pingitan merupakan kebudayaan lama yang secara pengertian adalah mengurung atau melarang seorang perempuan atau laki-laki yang hendak melangsungkan pernikahan. Tujuannya jaman dulu kelak adalah menghindarkan hal-hal yang tidak diinginkan terjadi kepada kedua calon mempelai. Penculikan, kecelakaan atau keadaan lainnya yang menyebabkan kemungkinan gagalnya prosesi pernikahan kedua calon mempelai. Hal semacam itu sangat wajar di jaman dahulu, karena tradisi kawin paksa atau sering disebut tragedi siti nurbaya masih sangat sering terjadi. Sehingga dengan adanya pingitan adalah menghindarkan kedua calon mempelai untuk lari dari perjodohan yang sudah diadakan sejak kedua mempelai itu masih kanak-kanak atau bahkan sejak lahir atau karena perjodohan yang berlandaskan alasan material saja.

Namun, pada saat ini dimana sudah minim sekali (bukan berarti sudah tidak ada) tradisi siti nurbaya, apakah masih diperlukan adanya tradisi pingitan?

Ada kalanya aku ngobrol dengan teman-teman yang sudah mendahuluiku. Tentu saja bukan mendahului meninggalkan dunia ini, melainkan yang sudah mendahului ku dalam membina bahtera rumah tangga. Bagaimana tatkala mereka memasuki dunia baru bagi mereka. Dunia yang dulu adalah satu, kini menjadi benar-benar dibagi menjadi dua (jaman pacaran tentu saja tidak semua dibagi dua bukan?). Muncullah kemudian pertanyaan-pertanyaan yang tentu saja memang sebenarnya aku ingin tahu karena pasti aku juga akan mengalami masa-masa menjelang pernikahan.

Tatkala kemudian aku sampai pada topik, masih pentingkah adanya pingitan? sebagian dari temanku menyatakan bahwa mereka tidak tahu tentang tradisi pingitan dan tidak mengetahui maknanya sehingga menurut mereka tiada penting adanya tradisi pingitan karena mereka berpikir itu hanyalah budaya pada jaman dahulu kala.

Lalu aku mememui salah seorang teman yang telah menikah pula. Dan rupanya dia mengerti makna dari pingitan, bukan makna secara harfiah dan bukan pula makna secara kolot yang merupakan maksud wantah dari makna pingitan pada jaman dulu. Melainkan sebuah makna dari pingitan yang menggambarkan kehidupan masa kini. Entah mencoba di pas-pas kan saja atau hanya istilah gathuklogi saja (meskipun sama aja itu adalah upaya untuk mencocokkan sesuatu histori dengan fenomena yang ada).

Temanku yang satu ini berkata kemudian tentang kedala-kendala sebelum masa pernikahan. Pada jaman dulu kala tatkala jamannya siti nurbaya mungkin tradisi prosesi pernikahan merupakan hak dan tanggung jawab setiap orang tua yang tentu saja pada masa itu melakukan perjodohan. Sang memmpelai hanya terisak-isak mengisi takdir untuk menjalani perjodohan tersebut. Namun seiring perkembangan jaman yang kemudian menuntut sisi kemandirian dan serba pribadi dan sok tanggung jawab dan dianggap mampu, sering kali anak jaman sekarang menjadi sok mengatur prosesi pernikahan. Meski tentu saja orang tua tidak ingin dan tidak akan melepas semua tanggung jawabnya kepada anak-anak mereka, tapi yah dasarnya otak modern putra putri Indonesia ini tidak mau mengalah, akhirnya sang calon mempelai pun mengambil alih fungsi orang tua. Akibatnya, persiapan yang bagus dan sesuai harapan. Orang tua enak tidak usah mikir apa-apa tinggal didandani saja dan duduk terharu pilu melihat anaknya menikah.

Namun dibalik itu semua, sang anak berpikir keras, menyiapkan ini dan itu. Dan sayangnya, dua insan yang belum resmi menjadi sepasang suami dan istri tersebut harus meleburkan egoisme yang mereka masing-masing miliki. Menurut penuturan temanku itu, akan sering terjadi percek cok an yang terkadang sebenarnya adalah hal yang sangat sepele. Memilih konsep tenda, konsep kostum, konsep undangan, souvenir, belum lagi tetek bengek yang lain. Semua dipikirkan sambil mereka masih menjalani kehidupan masing-masing. Berkutat dengan penatnya pekerjaan, deadline, dan hal-hal lain yang sebenarnya masih membutuhkan energi dan pikiran.

Dari hal-hal tersebut kemudian lahirlah percek cok an, pertengkaran yang sebenarnya sangat rawan terhadap proses pernikahan kedua calon mempelai tersebut. Kemudian sang kawan tadi menjelaskan bahwa konsep pingitan di era modern ini adalah dipingit dari segala bentuk intervensi luar yang mencoba menghancurkan rencana-rencana yang sudah terperinci. Mencoba mengganggu stabilitas (hadeh...maksudnya mengganggu kelancaran) perencanaan-perancanaan yang sudah ada. Dipingit dari egoisme dari masih-masing pihak, baik itu pihak kedua calon mempelai, pihak dua keluarga atau pihak eksternal yang seharusnya tidak patut untuk mencampuri urusan pernikahan mereka.

Dari situlah kemudian aku mencocokkan dengan aku sendiri, Yah karena saat ini aku juga sedang berada dalam masa persiapan pernikahan dimana aku juga merupakan salah satu anak manusia yang egois mencoba untuk menerapkan rencana-rencana. Sementara di seberang sana juga sang calon istri memiliki rencana-rencana sendiri. Kami berdua memiliki pandangan dan alasan terhadap rencana-rencana tersebut. Namun terkadang bahkan sering rencana kami itu berseberangan. Apalagi kami memiliki dua acara yang waktunya dalam bulan yang sama. Tentu saja hal itu semakin menambah beban pikiran, sementara itu tuntutan pekerjaan kami senantiasa menuntu untuk berpikir dan menyita waktu. Di sisi lain kami juga sudah harus bersiap dengan kehidupan paska pernikahan. Tempat singgah dan kebutuhan-kebutuhan yang lain sudah masuk dalam rencana aku dan rencana calon istriku.

Lalu aku berpikir, apakh percek cok an ini terjadi karena tiadanya prinsip pingitan aku jalani bersama calon istriku?