Pingitan merupakan kebudayaan lama yang secara pengertian adalah mengurung atau melarang seorang perempuan atau laki-laki yang hendak melangsungkan pernikahan. Tujuannya jaman dulu kelak adalah menghindarkan hal-hal yang tidak diinginkan terjadi kepada kedua calon mempelai. Penculikan, kecelakaan atau keadaan lainnya yang menyebabkan kemungkinan gagalnya prosesi pernikahan kedua calon mempelai. Hal semacam itu sangat wajar di jaman dahulu, karena tradisi kawin paksa atau sering disebut tragedi siti nurbaya masih sangat sering terjadi. Sehingga dengan adanya pingitan adalah menghindarkan kedua calon mempelai untuk lari dari perjodohan yang sudah diadakan sejak kedua mempelai itu masih kanak-kanak atau bahkan sejak lahir atau karena perjodohan yang berlandaskan alasan material saja.
Namun, pada saat ini dimana sudah minim sekali (bukan berarti sudah tidak ada) tradisi siti nurbaya, apakah masih diperlukan adanya tradisi pingitan?
Ada kalanya aku ngobrol dengan teman-teman yang sudah mendahuluiku. Tentu saja bukan mendahului meninggalkan dunia ini, melainkan yang sudah mendahului ku dalam membina bahtera rumah tangga. Bagaimana tatkala mereka memasuki dunia baru bagi mereka. Dunia yang dulu adalah satu, kini menjadi benar-benar dibagi menjadi dua (jaman pacaran tentu saja tidak semua dibagi dua bukan?). Muncullah kemudian pertanyaan-pertanyaan yang tentu saja memang sebenarnya aku ingin tahu karena pasti aku juga akan mengalami masa-masa menjelang pernikahan.
Tatkala kemudian aku sampai pada topik, masih pentingkah adanya pingitan? sebagian dari temanku menyatakan bahwa mereka tidak tahu tentang tradisi pingitan dan tidak mengetahui maknanya sehingga menurut mereka tiada penting adanya tradisi pingitan karena mereka berpikir itu hanyalah budaya pada jaman dahulu kala.
Lalu aku mememui salah seorang teman yang telah menikah pula. Dan rupanya dia mengerti makna dari pingitan, bukan makna secara harfiah dan bukan pula makna secara kolot yang merupakan maksud wantah dari makna pingitan pada jaman dulu. Melainkan sebuah makna dari pingitan yang menggambarkan kehidupan masa kini. Entah mencoba di pas-pas kan saja atau hanya istilah gathuklogi saja (meskipun sama aja itu adalah upaya untuk mencocokkan sesuatu histori dengan fenomena yang ada).
Temanku yang satu ini berkata kemudian tentang kedala-kendala sebelum masa pernikahan. Pada jaman dulu kala tatkala jamannya siti nurbaya mungkin tradisi prosesi pernikahan merupakan hak dan tanggung jawab setiap orang tua yang tentu saja pada masa itu melakukan perjodohan. Sang memmpelai hanya terisak-isak mengisi takdir untuk menjalani perjodohan tersebut. Namun seiring perkembangan jaman yang kemudian menuntut sisi kemandirian dan serba pribadi dan sok tanggung jawab dan dianggap mampu, sering kali anak jaman sekarang menjadi sok mengatur prosesi pernikahan. Meski tentu saja orang tua tidak ingin dan tidak akan melepas semua tanggung jawabnya kepada anak-anak mereka, tapi yah dasarnya otak modern putra putri Indonesia ini tidak mau mengalah, akhirnya sang calon mempelai pun mengambil alih fungsi orang tua. Akibatnya, persiapan yang bagus dan sesuai harapan. Orang tua enak tidak usah mikir apa-apa tinggal didandani saja dan duduk terharu pilu melihat anaknya menikah.
Namun dibalik itu semua, sang anak berpikir keras, menyiapkan ini dan itu. Dan sayangnya, dua insan yang belum resmi menjadi sepasang suami dan istri tersebut harus meleburkan egoisme yang mereka masing-masing miliki. Menurut penuturan temanku itu, akan sering terjadi percek cok an yang terkadang sebenarnya adalah hal yang sangat sepele. Memilih konsep tenda, konsep kostum, konsep undangan, souvenir, belum lagi tetek bengek yang lain. Semua dipikirkan sambil mereka masih menjalani kehidupan masing-masing. Berkutat dengan penatnya pekerjaan, deadline, dan hal-hal lain yang sebenarnya masih membutuhkan energi dan pikiran.
Dari hal-hal tersebut kemudian lahirlah percek cok an, pertengkaran yang sebenarnya sangat rawan terhadap proses pernikahan kedua calon mempelai tersebut. Kemudian sang kawan tadi menjelaskan bahwa konsep pingitan di era modern ini adalah dipingit dari segala bentuk intervensi luar yang mencoba menghancurkan rencana-rencana yang sudah terperinci. Mencoba mengganggu stabilitas (hadeh...maksudnya mengganggu kelancaran) perencanaan-perancanaan yang sudah ada. Dipingit dari egoisme dari masih-masing pihak, baik itu pihak kedua calon mempelai, pihak dua keluarga atau pihak eksternal yang seharusnya tidak patut untuk mencampuri urusan pernikahan mereka.
Dari situlah kemudian aku mencocokkan dengan aku sendiri, Yah karena saat ini aku juga sedang berada dalam masa persiapan pernikahan dimana aku juga merupakan salah satu anak manusia yang egois mencoba untuk menerapkan rencana-rencana. Sementara di seberang sana juga sang calon istri memiliki rencana-rencana sendiri. Kami berdua memiliki pandangan dan alasan terhadap rencana-rencana tersebut. Namun terkadang bahkan sering rencana kami itu berseberangan. Apalagi kami memiliki dua acara yang waktunya dalam bulan yang sama. Tentu saja hal itu semakin menambah beban pikiran, sementara itu tuntutan pekerjaan kami senantiasa menuntu untuk berpikir dan menyita waktu. Di sisi lain kami juga sudah harus bersiap dengan kehidupan paska pernikahan. Tempat singgah dan kebutuhan-kebutuhan yang lain sudah masuk dalam rencana aku dan rencana calon istriku.
Lalu aku berpikir, apakh percek cok an ini terjadi karena tiadanya prinsip pingitan aku jalani bersama calon istriku?
No comments:
Post a Comment