Sei Bahar atau Sungai Bahar merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Muaro Jambi, Provinsi Jambi yang memisahkan diri dari Kabupaten Batanghari, Provinsi Jambi. Petualanganku kali ini tidak sendirian dan bukan dalam rangka perjalanan dinas, melainkan perjalanan napak tilas jejak istriku. Hal ini disebabkan karena istriku sendiri merupakan putri kelahiran Sei Bahar (dulu masih menjadi bagian dari Kabupaten Batanghari). Pada saat itu, orang tua istriku merupakan keluarga transmigrasi yang datang dari Pulau Jawa. Entah bagaimana ceritanya kemudian keluarga istriku mendapatkan jatah daerah di Sei Bahar tersebut. Kemudian setelah sampai di daratan Sei Bahar tersebut, keluarga istriku mendapatkan tanah garapan serta pekarangan rumah lengkap beserta sarana pendukungnya. Mengantongi SK PNS, ayah dari istriku (“Babe”) kemudian bekerja di salah satu sekolah menengah pertama di wilayah tersebut. Kemudian Babe berusaha untuk menjadikan sekolah menengah pertama tersebut menjadi sekolah rintisan yang handal dan memiliki mutu yang bisa diandalkan. Banyak kisah perjuangan yang diceritakan Babe kepadaku, maklum saat dulu aku dekat dengan tetanggaku (yang sekarang menjadi istriku) aku senang bertanya tentang kisah inspiratif Babe tersebut. Dan syukurnya, Babe menanggapi setiap pertanyaanku dengan antusias dan dengan teliti menceritakan kisah-kisahnya. Masih aku ingat Babe menceritakan tentang kondisi sekolah menengah pertama tersebut, rekan-rekan sesama transmigrasi dari Pulau Jawa yang bersama-sama saling berjuang untuk membangun daerah Sei Bahar tersebut.
Kembali kemudian kepada kisah perjalananku menuju Sei Bahar. Pada tanggal 4 Oktober 2012 Ibu Mertuaku (“Bundo”) datang dari Wates menuju Jakarta. Dengan menggunakan Kereta Api Fajar Utama Yogyakarta dari Wates pukul 08.30 WIB tiba di Jakarta pukul 17.00 WIB. Kebetulan ada saat itu istriku mengambil jatah cuti dari kantornya, sementara jatah cutiku sudah habis untuk masa-masa pernikahanku dulu. Sehingga istrikulah yang kemudian menjemput Bundo di Stasiun Pasar Senen, Jakarta Pusat.Dengan menggunakan moda transportasi umum yaitu taksi istriku mengantarkan Bundo dari kontrakan kami di daerah Kota Bambu Selatan. Maklum karena pada hari itu merupakan hari Jumat, jadi sedikit wajar dan sudah umum sekali kalau kemudian kondisi jalan di Jakarta mengalami kemacetan (apalagi saat itu pas dengan waktu pulang kerja).
Jam 17.00 tepat aku juga segera pulang dari kantor (niatnya), namun karena kondisi cuaca ternyata sedikit menghalangiku dengan rintikan hujan yang deras membuatku sedikit mengurungkan diri untuk menembus hujan malam itu. Namun karena hujan tak reda-reda akhirnya aku nekat menembus hujan malam itu. Berbekal jaket pemberian istriku (yang katanya tidak tembus air) akhirnya aku melalui basahnya jalan-jalan di Jakarta. Hujan ternyata makin lebat hingga sepatuku pun bak galon tampungan air. Ketika aku jungkir sepatuku maka mengalirlah air dari sepatuku itu. Berhenti sebentar di lampu merah (yang menyala merah) aku merogoh handphone ku yang terletak di saku kemejaku yang terlindungi jaket tak tembus air itu. Kubaca ada pesan didalamnya yang menyatakan untuk membeli lauk makan malam untuk tiga porsi. Lalu perjalanan aku lanjutkan kembali dan kemudian aku mampir di sebuah warung tongseng kambing dan langsung aku pesan tiga porsi tanpa nasi.
Setelah pesanananku jadi aku segera meluncur ke rumah kontrakanku. Ternyata Bundo dan istriku sudah menungguku di ruang menonton tv. Setelah membersihkan diri dan menunaikan Sholat Maghrib akhirnya kami pun makan bersama. Setelah sedikit bercakap-cakap dan bercerita tentan bagaimana kondisi Babe, situasi perjalanan dan sedikit merencanakan perjalanan esok hari waktu pun beranjak menutup masa. Akhirnya kami memutuskan untuk tidur agar esok hari bisa siap untuk melakukan perjalanan.
Pagi pun akhirnya menjelang dan kami bersiap-siap. Seelah sarapan dengan nasi uduk samping Rumah Sakit Harapan Kita kami pun segera bergegas menuju ke Bandara Soekarno Hatta. Pada saat itu kami telah membeli tiket Jakarta-Jambi jauh hari. Karena harga juga merupakan salah satu pertimbangan kami akhirnya kami memilih (sebenarnya istriku yang mengatur perjalanan kali ini, hehehe) maskapai Batavia Air. Jadwal keberangkatan pesawat kami adalah pukul 09.00 WIB, oleh karena itu kemudian kami berangkat dari kontrakan kami jam 07.30 WIB mengingat kebetulan jarak rumah kontrakanku menuju bandara Soekarno Hatta hanya membutuhkan waktu sekitar 30-40 menit (tentu saja dengan asumsi kondisi jalanan Jakarta macet normal) menggunakan sarana taksi.
Setelah seian lama berada di taksi (sempat was-was pula sih karena kondisi jalanan yang agak macet menjelang pintu masuk tol) akhirnya kami tiba di Terminal 1 Bandara Soekarno Hatta. Dengan agak sedikit terburu-buru dalam melangkahkan kaki untuk segera melakukan check in di counter maskapai Batavia Air. Lega perasaan kami setelah kami berhasil melakukan check in (maaf ya Bun, jalannya agak cepet..hihihi). Akhirnya kami pun menuju ruang tunggu untuk menunggu sang pesawat yang rencana akan kami tumpangi. Sempat khwatir pula satu minggu sebelumnya mengingat ada pengumuman dari salah satu media massa yang mengatakan bahwa Bandara Sultan Thaha dinyatakan tertutup dikarenakan terdapat asap pembakaran lahan gambut. Tapi setelah melakukan pengecekan melalui akun twitter Bandara Sultan Thaha ternyata kabar tersebut tidaklah benar.
Setelah menunggu beberapa saat akhirnya kami dipanggil untuk memasuki ruang pesawat. Tidak terlalu penuh penumpang saat itu namun kami bertiga mendapatkan kursi di bagian belakang. Alasan dari flight attendant katanya untuk menjaga keseimbangan pesawat. Satu jam menunggu akhirnya kami tiba di Bandara SultanThaha Jambi. Kemudian kami melangkah menuju tempat kedatangan. Bundo sendiri telah membuat janii dengan Pakde Lani (teman seperjuangan saat dulu babat alas di Sei Bahar). Menunggu beberapa menit di ruang kedatangan akhirnya kami melihat sebuah mobil Daihatsu Taruna meluncur dan melambaikan tangan. Oh, ternyata itu Pakde Lani. Tanpa banyak cakap akhirnya kami melaju ke mobil tersebut dan menempatkan posisi di dalam mobil tersebut. Tak lama berkendara di mobil tersebut, kami diluncurkan ke sebuah rumah makan padang (aduh lupa namanya), dan kami pun mulai memesan menu.
Setelah beberapa saat menikmati hidangan menu masakan padang, akhrnya diputuskan untuk melanjutkan perjalanan ke wilayah Sei Bahar. Pada saat itu turun hujan yang tinggal gerimis saja (katanya sebelumnya hujan deras). Mobil yang disopiri oleh Abang Togar, warga Sei Bahar asal Medan melesat menyusuri jalan di Provinsi Jambi tersebut. Meksipun kondisi jalan sempit dan ramai kendaraan bermotor roda dua yang bersliweran tidak teratur namun Abang Togar tetap saja mengemudikan dengan kecepatan di atas 80 km/jam. Bahkan ketika ban mobil mengalami selip Abang Togar tetap cekatan membawa mobil tersebut.
Setelah sekitar 1 jam 45 menit menempuh perjalanan (kalau kondisi normal, tidak hujan bisa ditempuh daam waktu 1 jam) akhirnya kami sampai di Sei Bahar Unit 1. Oh, iya sepanjang perjalanan kami ribuan hektare perkebunan sawit lah yang menjadi pemandangan kami. Memang sudah dikenal di daerah Provinsi Jambi bahwa wilayah Sei Bahar merupakan sentra penghasil kelapa sawit selain tambang minyak dan sedikit batubara yang masih muda umurnya. Dulu kisahnya juga Babe dan Bundo di Sei Bahar memiliki perkebunan sawit, namun dikarenakan kemudian sesuai target kehidupan mereka untuk kembali ke Pulau Jawa akhirnya mereka mengalihkan perkebunan sawit yang mereka miliki tersebut.
Singgahlah kemudian kami di rumah Pakde Lani dimana kami disambut oleh Bude Lani dan ada Pak Maskur beserta istri. Tangis pecah ketika Bude Lani memeluk istriku. Entah mungkin rindu yang telah lama terpendam atau rasa bahagia yang amat sangat setelah lama tiada bertemu. Setelah acara berpelukan kemudian tibalah saat untuk beramah tamah dan berbasa-basi di ruang tamu kediaman Pakde Lani. Dengan suguhan khas rumahan kami pun menikmati kudapan yang dihidangkan hinga akhirnya kami memutuskan untuk ijin menjalankan sholat dhuhur.
Sekitar jam 15.00 WIB kemudian kami hendak meluncur berkunjung napak tilas ke tanah kelahiran istriku. Meluncur hanya dalam waktu 10 menit saja diantar oleh Abang Togar akhirnya kami tiba. Rupanya tetangga yang dahulu bersama keluarga Bundo dan Babe masih banyak yang masih menetap di wilayah Sei Bahar tersebut. Sambutan demi sambutan hangat dilemparkan melalui sunggingan senyum para tetangga. Diselingi beberapa canda dan tawa kami menuju bekas rumah Bundo dan Babe dulu yang kini telah menjadi perkebunan kelapa sawit. Dijenguk pula sumur yang dulu istriku pernah tercebur ke dalamnya dan sekarang sumur itu juga sudah mengering di tengah perkebunan kelapa sawit.
Bercakap-cakap dengan mantan tetangga yang kini telah bagaikan saudara menghangatkan suasana. Bercerita tentang masa lalu kemudian membandingkan dengan kondisi sekarang. Kulihat pula teman-teman istriku dulu saat dia hidup di area penghasil kelapa sawit ini. Sudah ada yang memiliki anak, masih ada yang kuliah atau bahkan sudah pergi ke daerah lain. Kami terus menyusuri tempat yang memiliki kenangan antara Bundo dan istriku. Setelah kemudian adzan Ashar berkumandang kemudian kami menunaikan ibadah sholat Ashar. Setelah itu kemudian kami berpamitan kepada seluruh tetangga mengingat ternyata Abang Togar memiliki keperluan untuk pergi ke Jambi. Dengan agak terburu-buru kami melewatkan suguhan yang sebenarnya telah dihidangkan oleh salah satu tetangga (kalau tidak salah namanya Santi).
Mengendarai dengan pelan akhirnya kami tiba kembali di rumah Pakde Lani. Meskipun sebelum tiba di kediaman Pakde Lani kami mampir ke pasar dan Sekolah Menengah Pertama yang dirintis oleh Babe. Sedikit kontras dengan cerita yang diriwayatkan oleh Babe tentang kondisi sekolah pada saat dulu dibangun dengan kondisi sekarang yang sudah bagus dan tertata rapi. Mungkin kalau Babe sempat untuk mengunjungi Sei Bahar ini juga akan terkesima dengan perkembangan yang ada. Sayang Babe tidak bisa ikut dikarenakan alasan pekerjaan dan kesehatan.
Adzan Maghrib berkumandang dan aku pun menuju masjid yang terletak di belakang persis rumah Pakde Lani. Aku menjadi masbuk saat itu, dan yang aku membuat aku terkesima adalah imam di masjid itu adalah seorang anak berumur sekitar 9 tahun dengan jumlah jamaah 4 orang. Dua makmum perempuan dan dua makmum laki-laki (termasuk aku). Dan bacaan anak tersebut luar biasa merdu dan kudengar lancar serta benar bacaannya. Selesai salam kemudian aku bersalaman dengan anak tersebut. Lugu, polos dan teduh sekali muka anak itu. Luar biasa kataku. Di kala teman seusianya sibuk bermain yang berkaitan dengan dunia dia sendiri masih menikmati dalam kelembutan pelukan agama. Luar biasa.
Aku pun kemudian melangkahkan kaki untuk kembali ke rumah Pakde Lani. Makan malam dan sedikit bercakap-cakap dengan keluarga Pakde Lani serta kemudian ada putra dari Pakde Lani yaitu Mas Rustam. Obrolan demi obrolan melepuhkan waktu yang berputar. Akhirnya kami tertidur di depan ruang TV (padahal bundo dan istriku sudah disarankan untuk tidur di dalam kamar). Hingga waktu Subuh menjelang aku memutuskan untuk mandi (karena hari itu juga aku musti kembali ke Jakarta, karena pada hari minggu sore aku musti berangkat mengikuti pendidikan dan pelatihan investigasi di Pusdikreskrim POLRI).
Setelah menunaikan sholat Subuh dan bersiap-siap akhirnya aku (diantarkan oleh Mas Rustam) berpamitan kepada keluarga Pakde Lani, Bundo dan Istriku untuk kembali ke Jakarta. Obrolan demi obrolan mengiringi perjalanan aku dan Mas Rustam. Tentang kondisi Sei Bahar, perkebunan Kelapa Sawit, cerita sejarah Pakde Lani dan Mas Rustam serta masih banyak lagi. Benar memang dengan kondisi cuaca yang bersahabat akhirnya aku tiba di Bandara Sultan Thaha Jambi hanya dalam waktu satu jam. Aku tiba di Bandara Sultan Thaha pada pukul 08.45 sementara jadwal keberangkatan pesawatku adalah jam 09.55. Menunggu dan menunggu akhirnya aku memutuskan untuk melakukan check in terlebih dahulu. Dan kaget ketika disampaikan oleh petugas check in maskapai Batavia Air bahwa pesawat akan mengalami keterlambatan sekitar 2 jam. Zink....krik..kriikkk... Aku musti berbuat apa pada saat masa tunggu tersebut. Namun hati tenang setelah Mas Rustam menyatakan siap untuk menemani menunggu. Duh...jadi gak enak juga sih. Berkali-kali aku tanyakan pada Mas Rustam apakah dia tidak memiliki acara atau agenda lain. Kalau ada aku bilang tidak apa-apa kok saya ditinggal sendirian. Namun Mas Rustam dengan kebaikan hatinya mengatakan “tidak apa-apa, saya tunggu lagians aya gak ada kegiatan lain kok, istri juga lagi dinas”.
Akhirnya kami pun memutuskan untuk bercakap-cakap di sebuah warung di sudut Bandara Sultan Thaha. Menikmati gorengan, kopi susu dan kepulan asap rokok dari pengunjung warung yang lain yang juga merupakan korban dari penundaan pesawat. “Oh, iya aku kan punya teman di Jambi ini”. Langsung aku sms temanku yang bernama Luhut untuk memberitahukan bahwa aku sedang berada di Provinsi Jambi tepatnya di Bandara Sultan Thaha. Dan benar saja kebetulan Luhut sedang libur dan siap meluncur ke Bandara Sultan Thaha. Bercakaplah kemudian kami bertiga. Ngalor ngidul obrolan kami meluncur hingga tak terasa waktu beranjak dan pengumuman bahwa pesawat Batavia Air sudah mendarat. Alhamdulillah. Akhirnya setelah membereskan pembayaran di warung tersebut kami pun berjalan menuju ruang keberangkatan. Setelah bersalam-salaman akhirnya aku mengucapkan banyak terima kasih kepada Mas Rustam dan Luhut yang telah bersedia menemaniku.
Setelah aku memasuki ruang tunggu benar saja aku langsung di minta untuk naik ke pesawat. Setelah duduk beberapa saat akhirnya pesawat pun beranjak meninggalkan Provinsi Jambi menuju Jakarta. Sama seperti saat perjalanand dari Jakarta menuju Jambi, perjalanan kali ini pun hanya memakan waktu 1 jam. Hingga akhirnya aku kabarkan kepada istriku bahwa aku telah tiba di Bandara Soekarno Hatta,kisah perjalanan di Sei Bahar ini aku nyatakan selesai untuk diceritakan. Kisah lain mungkin akan diceritakan oleh istriku sendiri melalui blog atau imajinasi yang terekam dalam tiap deret nukleus di otaknya.
Petualangan Sei Bahar....
Tanah Kelahiran Istriku
Friday, 19 October 2012
Tuesday, 2 October 2012
Kau Rindu Gendi Bukan?
"Gendiiiiiiiiii....". Sepatah kata itu menggaung di ruang kamar kontrakan kami. Entah satu kali atau beberapa kali. Kata itu bahkan meraung-raung dalam hati. Melegakan dan menyenangkan. Suasana malam yang kelam berasa pagi hari nan sejuk. Hati sanubari ini bak bunga segar yang diseduh dengan segarnya embun pagi.
Tapi tidak dalam minggu ini. Seseorang pengumandang kata itu tiada ada di sini. Kontrakan yang sepi tiada teman berbagi. Tatapan nanar dari televisi,almari,ranjang,bak kamar mandi serta perkakas yang lain. Seolah mengatakan, "kau rindu dengan gendiii bukan?".
Istriku sedang menjalani proses pembelajaran di instansi tempat ia bekerja. Pendidikan dan Pelatihan Fungsional.
memang selama ini aku yang sering meninggalkan istriku dipeluk oleh kesepian kontrakan. Seiring tuntutan pekerjaan yang sering menugaskan aku untuk melakukan perjalanan dinas. Bahkan kalau dibuat rata-rata mungkin dua kali dalam sebulan aku meninggalkan istriku. Mungkin rasa ini yang sering dirasakan istriku saat aku meninggalkan dia. Sadar aku memang ini rasanya tidak nyaman. Wajar pula kalau kemudian istriku sering mencibirkan bibir tatkala tahu aku akan pergi untuk perjalanan dinas. Tapi itulah adanya, memang mau bagaimana.
Maafkan aku ya istriku... Sering aku menganggap remeh ketika ditinggal untuk perjalan dinas. Aku pikir 3 hari itu waktu yang singkat. Singkat memang untuk kategori perjalanan dinas. Tapi ternyata tiga hari di kontrakan tanpa pendamping hidup sungguh amat lama. Menunggu satu menit berlalu pun lamanya minta ampun.
Tayangan televisi menjadi tidak ada yang menarik. Makanan lezat yang biasa aku makan berdua, meski sangat sederhana namun sungguh terasa lezatnya. Namun ketika sendirian selezat apapun masakan atau nmakanannya menjadi tiada berasa. Ranjang atau tempat tidur yang biasanya penuh akan jejal-jejalan kaki aku dan istriku menjadi amat lebar amat lapang. Guling ke kiri dan ke kanan tiada kudapati dirinya.
Terbayang pula dalam anganku kemudian. Bagaimana seorang istri atau suami yang ditinggal pasangannya untuk bekerja di luar negeri hinga berbulan bahkan hitungan tahun lamanya dan hanya bisa pulang satu kali dalam setahun misalnya. Apa rasanya?
Gendi.... aku rindu kamu..
Tapi tidak dalam minggu ini. Seseorang pengumandang kata itu tiada ada di sini. Kontrakan yang sepi tiada teman berbagi. Tatapan nanar dari televisi,almari,ranjang,bak kamar mandi serta perkakas yang lain. Seolah mengatakan, "kau rindu dengan gendiii bukan?".
Istriku sedang menjalani proses pembelajaran di instansi tempat ia bekerja. Pendidikan dan Pelatihan Fungsional.
memang selama ini aku yang sering meninggalkan istriku dipeluk oleh kesepian kontrakan. Seiring tuntutan pekerjaan yang sering menugaskan aku untuk melakukan perjalanan dinas. Bahkan kalau dibuat rata-rata mungkin dua kali dalam sebulan aku meninggalkan istriku. Mungkin rasa ini yang sering dirasakan istriku saat aku meninggalkan dia. Sadar aku memang ini rasanya tidak nyaman. Wajar pula kalau kemudian istriku sering mencibirkan bibir tatkala tahu aku akan pergi untuk perjalanan dinas. Tapi itulah adanya, memang mau bagaimana.
Maafkan aku ya istriku... Sering aku menganggap remeh ketika ditinggal untuk perjalan dinas. Aku pikir 3 hari itu waktu yang singkat. Singkat memang untuk kategori perjalanan dinas. Tapi ternyata tiga hari di kontrakan tanpa pendamping hidup sungguh amat lama. Menunggu satu menit berlalu pun lamanya minta ampun.
Tayangan televisi menjadi tidak ada yang menarik. Makanan lezat yang biasa aku makan berdua, meski sangat sederhana namun sungguh terasa lezatnya. Namun ketika sendirian selezat apapun masakan atau nmakanannya menjadi tiada berasa. Ranjang atau tempat tidur yang biasanya penuh akan jejal-jejalan kaki aku dan istriku menjadi amat lebar amat lapang. Guling ke kiri dan ke kanan tiada kudapati dirinya.
Terbayang pula dalam anganku kemudian. Bagaimana seorang istri atau suami yang ditinggal pasangannya untuk bekerja di luar negeri hinga berbulan bahkan hitungan tahun lamanya dan hanya bisa pulang satu kali dalam setahun misalnya. Apa rasanya?
Gendi.... aku rindu kamu..
Posted by
Andhika Willy Wardana
Jam
08:35
Subscribe to:
Posts (Atom)