"Dimaassssssssss!!!!!!!, mau jadi apa kamu kalau seperti ini terus". Bentak ayah sembari menatap Mas Dimas yang duduk termangu di ruang keluarga. Mas Dimas sosok yang kukenal sebagai kakak yang agak pendiam kalau di rumah, meski sering baik banget sama aku. Tapi sering pula membuat ulah di luar rumah. Entah sebenarnya apa yang ada di benak atau hati kak Dimas. Untuk prestasi di sekolah sebenarnya Kakak Dimas tergolong siswa yang memiliki prestasi yang cukup bagus. Sejak SD hingga sekarang (SMA kelas 2) kak Dimas tidak pernah lepas dari peringkat lima besar. Aku sendiri sebenarnya juga heran, kalau aku lihat kak Dimas tak pernah belajar, catatan pun kulihat sangat berantakan. Gift mungkin ya...
Nah, siang itu ayah menerima surat beramplop coklat berkepala surat sekolah kak Dimas. Entahlah aku sendiri tidak tahu apa isi surat itu. Tapi sepulang kerja, muka ayah langsung merah padam membaca surat itu. Dengan nada tinggi ayah memanggil ibu dan kak Dimas (aku hanya mendengra dari balik dinding kamarku saja).
"Ibu, lihat ini... bagaimana si Dimas ini, mau jadi apa dia kalau begini terus..", ucap ayah sambil memperlihatkan isi surat itu kepada ibuku. Aku dengar samar-samar ibu tiada berkata-kata. Hanya kemudian ku dengar suara motor menderu memasuki garasi rumah kami. Suara mesin Vespa P50TS yang disayangi kak Dimas. Motor yang dibeli dengan uang hasil cerdas cermat kak Dimas waktu SMA kelas satu kemarin.
treng theng theng theng.....suara itu pun lalu pada dengan sendirinya. Dilanjutkan dengan suara klak..dari suara standar dari motor vespa kak Dimas. Tak tahu rupanya kak Dimas bahwa di dalam rumah sudah ada ayah yang sepertinya siap menjadikan kak Dimas sebagai pendengar setia dari amarah dan celotehan ayah.
Ngiiiieeekkkk....suara pintu depan terbuka. Suasana hening, aku sendiri tidak tahu kemana ayah dan ibu yang suaranya tadi menggelegar memenuhi ruang keluarga. Suara langkah kaki kak Dimas juga kudengar berjalan biasa menuju kamarnya. Kebetulan kamar kak Dimas berada di lantai dua, jadi aku dengar setiap detak sepatunya menapaki lantai kayu rumah kami.
Klik...brukkk...suara pintu kamar kak Dimas tertutup. Dan suasana menjadi hening hingga tiba waktu makan malam keluarga. Memang sudah menjadi kebiasaan keluarga kami untuk makan bersama. Setelah sebelumnya kami menunaikan sholat maghrib dan sholat isya' berjamaah. Hingga selesai doa selepas sholat isya tiada peristiwa apa-apa. Surat yang ayah baca tadi siang pun belum dibahas sama sekali. Ah..mungkin ayah sudah diredakan oleh ibu tadi. Acara salam-salaman rutin setelah sholat isya' sudah dilaksanakan dan seolah tidak terjadi apa-apa.
Hingga akhirnya kami berkumpul di meja makan. Ibu sudah menyiapkan masakan-masakan khas Jawa yang menjadi favorit keluarga kami. Kebetulan jgua aku sedikit membantu pekerjaan ibu tadi, yah paling tidak untuk bantu siapin bumbu dan memotong sayur serta mencuci perkakas.
Setelah semua tersaji di meja makan, akhirnya kami makan malam bersama dalam suasana yang hikmat. Doa sebelum makan sudah terlantun pula sebelum kami mulai menyantap hidangan malam itu. Makanan khas Jawa memang sudah menjadi kepiawaian ibuku, yah maklumlah Ibu ku memang berasal dari Yogyakarta, jadi faseh benar dia akan masakan-masakan khas Jawa. Dan rasanya, ya sama dengan warung-warung terkenal yang menyajikan makanan khas Jawa. Mulai dari gorengan hingga sop-sop an ibu bisa memasaknya.
Doa sesudah makan akhirnya selesai kami panjatkan. Ketika aku dan ibuku hendak bergegas untuk merapikan meja makan dan membawa perkakas meja makan untuk dibersihkan tiba-tiba ayah mengucapkan sesuatu (pada saat makan malam itu ayah terdiam membisu, tidak seperti biasanya).
"Ibu, Adik, Dimas, tolong tunggu sebentar, jangan bergegas dari meja ini sebelum nanti ayah selesai bicara"
Kami semua tertegun dan terdiam diri. Wah, apakah ayah akan mengutarakan tentang isi surat tadi siang?, batinku bertanya demikian. Lalu kami yang semula sudah mengangkat bahu kami untuk bergegas akhirnya kembali pada posisi duduk semula.
"Dimas, tadi siang ayah menerima surat dari sekolah kamu", ayah berkata sambil menyerahkan surat tersebut kepada kak Dimas. Kak Dimas terlihat terkejut, namun bukan terkejut takut atau apa, melainkan terkejut bahagia dan kemudian berkaca-kaca.
"Bisa jelaskan kepada ayah, Dimas, tentang surat itu?", ayah bertanya kepada kak Dimas.
"ehm,,,ehm...jadi gini yah". belum selesai kak Dimas mengatakan kepada ayah, ayah sudah mengcaungkan jari telunjuk di mulut ayah.
"sssstttt....., ayah ingin tahu, sebenarnya keinginan Dimas bagaimana?"
"baiklah ayah, begini...sudah sejak dulu dimas mengikuti apa yang ayah inginkan. Dimas sudah menjadi seperti yang ayah inginkan. Berprestasi di sekolah, pendiam di rumah, dan tiada ulah Dimas yang menyusahkan ayah bukan?" tanya kak Dimas sambil mengernyitkan dahi.
"tapi yah, Dimas mohon kali ini ayah mau mengerti kemauan Dimas, Dimas berjanji pada ayah untuk menunjukkan bahwa Dimas ini anak ayah yang dapat membanggakan keluarga.Meski Dimas tahu bahwa keinginan ayah sebenarnya tidak sesuai dengan isi surat yang ayah terima itu, tapi Dimas berjanji bahwa kelak ayah akan bangga melihat Dimas menjadi Dimas yang Dimas inginkan, Dimas yang dulu ayah gendong di pangkuan ayah dengan penuh harapan. Jadi Dimas mohon yah, biarkan Dimas menjadi sosok Dimas yang sesuai dengan Dimas dan juga dapat membanngakan ayah"
Ayah hanya terdiam mendengar apa yang dikatakan kak Dimas. Perlahan tapi pasti aku lihat ayah mengatur irama nafasnya hingga terlihat betapa tenang ayah kemudian menanggapinya. Tidak seperti tadi siang ayah terdengar sangat emosional.
"baik, ayah akan dengarkan Dimas, ayah akan ikuti apa yang Dimas ingin tunjukkan pada ayah, tapi ayah gak mau sekalipun Dimas melenceng dari jalan Alloh. Hanya itu saja keinginan ayah saat ini. Terbanglah Dimas, setinggi Dimas bisa mengepakkan sayap, sejauh penglihatan dimas menatap, se dalam hati dimas merasakan", jawab ayah dengan banyak sekali kata-kata yang aku sendiri tak tahu apa artinya.
Perlahan kemudian kak Dimas bangkit dari kursinya dan segera merengkuh bahu ayah, dipeluk erat dengan tangis kecil dilengkapi sedikit tetesan air mata. Tepukan tangan ayah menepuk pundak kak Dimas. Ibu hanya bisa berkaca-kaca tetap di kursinya melihat ayah dan kak dimas saling sesenggukan berpelukan.
Kemudian pelukan erat mereka lepas dan diikuti dengan tatapan ayah kepada kak Dimas lalu usapan tangan ayah di rambut kak Dimas.
"anak ayah sudah besar ya rupanya bu?" ayah berkata lepas sambil menatap ibu. Ibu hanya mengangguk tanda mengiyakan atas perkataan ayah.
Surat itu... tiada pernah aku tahu...tiada pernah aku bertanya kepada ayah dan ibu ku bahkan kepada kak Dimas sekalipun. Hingga kini ayah dan ibu sudah memutih rambutnya. Kak Dimas sudah menjadi sosok kak Dimas yang benar-benar membanggakan keluarga. Kak Dimas yang benar-benar menjadi kak Dimas yang diinginkan kak Dimas. Kak Dimas yang sesuai dengan janji kak Dimas pada ayah saat itu.
No comments:
Post a Comment