Wednesday, 31 August 2011

Memaknai Diam

Diam....
Tak berkata-kata
Membisu mungkin banyak orang menyatakannya

Ada yang mengatakan bahwa diam itu emas
Ada pula yang mengatakan bahwa diam itu laksana menyimpan mutiara
Dalam buritan mulut

Aku memaknai diam
Sesuai dengan tulisan yang aku coretkan di dinding kamarku
Bahwa ibu dari segala adab adalah sedikit bicara
Entah mungkin aku yang salah menafsirkan atau hanya sekedar beda pendapat

Sedikit bicara dengan diam

Akhir-akhir ini ada yang bermasalah dengan prinsip yang aku pegang tadi
Karena kemudian diamku menjadi salah arti
Menjadi tidak komunikasi
Menjadikan salah persepsi

Aku diam
Karena aku pikir
Diam akan melahirkan sebuah kewibawaan
Tentu saja tidak senantiasa diam
Diam pada tempatnya
Bicara ala kadarnya dan berkualitas

Meneng ning mentes

Mungkin dapat diperibahasakan demikian

Aku masih ragu dengan orang memaknai diam

Aku diam karena aku tidak ingin terlalu banyak bicara
Aku diam karena sedikit bicara
Dan menjadikan seperti apa yang terpampang di tembok kamarku
Ibu dari segala adab adalah sedikit bicara

Thursday, 18 August 2011

Sarang Jerami dan Sangkar Emas

Jerami itu coklat
Menggelayut semrawut di cabang pohon mangga
Tak rapi memang
Berwarna coklat kumuh dan sedikit berbau tahi burung

Sangkar itu berwarna emas
Megah nan kokoh tatkala memandangnya
Seolah mahligai dan kebahagiaan hidup bisa tercapai di dalamnya
Berhiasan makanan nan mewah

Namun
Sarang jerami lebih hangat tatkala malam memeluk
Tatkala bulu basah tersiram rintik hujan

Sarang jerami tak pernah sedih
Ketika sang burung terbang mengepakkan sayap
Bebas ke angkasa
Dia akan senantiasa siap menjadi penghangat tubuh sang burung
Meski dia sendiri tidak bisa berteduh tatkala hujan beriringan menari
Di tengah awan yang memendam mentari

Sangkar emas memang menawarkan kemewahan
Kemegahan pagi hari
Terpantul dari kilau tiap sayat cahaya mentari
Membusungkan dada tiap burung yang berada di dalamnya
Makanannya pun burung tak perlu mencari
Mahal tentu dan bergizi

Namun sangkar emas tak menawarkan kebebasan
Tak rela semenit pun burung membuka pintu
Untuk sekedar bercicit di luar sangkar
Dan sangkar emas tak mampu memberikan kehangatan
Tatkala malam mendera dengan dinginnya

Monday, 15 August 2011

Antusias Buka Bersama di Ibukota

Buka puasa merupakan ritual wajib pada saat kita berpuasa
Dan biasanya lebih rame ketika bulan Ramadhan
Karena berpuasa berjamaah
Sehingga penuhlah warung tatkala maghrib menjelang

Ini lah yang aku lihat di Jakarta ini
Antusias benar orang yang berpuasa untuk melakukan acara ritual buka bersama
Bersama teman sekantor
Teman sepermainan atau istilahnya teman gaul
Atau bahkan bisa jadi ajang reuni
Paling tidak aku bisa melihat sebuah keindaha di sana
Kebersamaan
Kehangatan bersilaturahmi

Namun ada sedikit sedih aku melihat
Di ibukota ini
Tatkala maghrib menjelang
Yang rame tentu saja pusat makanan
Liat saja waiting list para pengunjung sampai berjubel
Bahkan ada yang memesan tempat duduk dari jam 12.00 siang
Ketika adzan berkumandang
Orang sibuk mencicipi dan melahap makanan yang ada di hadapan mereka
Seolah semua akan dimasukkan ke dalam sistem pencernaan
Dan pada saat itu semua tak berpikir untuk meramaikan masjid
"Tar lah habis makan/buka"
Biasanya orang akan mengatakan hal itu
Katanya sih biar lebih konsentrasi kalau sholat sehabis makan
Paling tidak perut tidak keroncongan

Kemudian sekitar 15-30 menit
Mereka bergegas ke masjid/mushola
Dan memang
Banyak yang bepikiran bahwa maghrib setelah buka dengan makan banyak
Hasilnya
Mushola penuh (tau sendiri bagaimana ketimpangan bangunan mall yang megah dengan mushola yang tak cukup untuk menengadah)
Para pengunjung alias calon jamaah sholat maghrib berjubel
Apakah masih bisa berkonsentrasi kalau sudah seperti ini?
Suara sang imam tak terdengar
Kalah dengan riuh ramai para pengunjung
Kata amiin yang terseriak pun selah meraba apa yang telah diucapkan ama imam

Padahal
Kalau mereka buka dengan sedikit makanan saja
Lalu bergegas menegakkan sholat
Tentu tidak berdesak-desakan
(namun bisa juga ya,kalau semua berpikiran seperti ini mushola pasti penuh juga)
Yah, paling tidak pada jam buka mereka berjejalan di rumah Alloh

Oh iya, mungkin bisa juga
Sebelum menentukan tempat buka
Perlu dipertimbangkan
Tempat makan yang memiliki mushola yang luas
Jadi bisa deh berbuka dan menunaikan sholat maghrib dengan nyaman

Sunday, 14 August 2011

Arisan Jabatan Struktural

Pada saat itu musimnya mutasi dan pensiun
Pada saat itu pula musimnya promosi
Ada yang naik dan ada yang tersingkir
Terlempar jauh ke daerah pun bisa membuat orang pindah instansi
Dengan konsekuensi jabatan tak naik

Lucunya,
Pada saat itu
Pimpinan penentu mutasi dan promosi menjadi sering mendapat kunjungan
Bukan kunjungan presiden atau inspektorat
Atau kunjungan dari lembaga lain yang ingin bersilatrurahmi

Melainkan kunjungan dari para kroco
Yang notabene tak punya cukup poin untuk mendapatkan promosi
Keahlian yang dimiliki dikhawatirkan tidak sesuai jabatan yang dipangku
Hanya keahlian lobi
Mungkin kasarnya hanya kemampuan menjilat
Demi sebuah jabatan struktural

Bahkan tak segan dia mengkambinghitamkan teman yang selama ini menjadi teman seperjuangan
Menyingkirkan melalui jalan belakang
Berbaik hati bermuka dua
Demi jabatan struktural

Dan sayangnya lagi
Pimpinan melihat dengan subjektifitas
Tanpa melihat poin yang dimiliki
Prestasi kinerja yang sudah dilakukan
Bahkan tak melihat relevansi bidang keahlian yang dimiliki

Dan demi jabatan struktural
Pimpinan pun mulai buta karena pujian
Bujuk rayu
Dan terkadang jasa-jasa palsu

Dan akhirnya
Yang terjadi adalah carut marut kelembagaan
Jabatan struktural dipangku oleh orang yang tidak memiliki kompetensi
Sesuai bidang keahlian yang dimiliki

Kebijakan menjadi kabur
Terkadang tak sesuai dengan tupoksi kelembagaan
Melenceng jauh dari visi misi lembaga

Namun, sebagai staf bisa apa
Di bawah pimpinan
Staf hanyalah suruhan
Diam atau kemudian ikut menjadi sistem penjilatan
Membenarkan apa yang menurut pimpinan itu benar

Semua itu karena
Arisan Jabatan Struktural

Tuesday, 9 August 2011

Balas Budi Katanya

Kasih Ibu kepada beta
Tak terhingga sepanjang masa
Hanya memberi tak harap kembali
Bagai sang surya menyinari dunia


Sepenggal lagu itu sering aku dengar
Dan memang aku tahu itu benar adanya
Bahwa sampai kapanpun seorang anak berusaha membalas segala kebaikan ibu
Takkan pernah dia mampu

Meski sang anak banyak harta
Banyak berkorban
Berusaha keras membahagiakan sang ibu
Tapi itu takkan pernah cukup membalas

Aku punya kisah dan aku tak tahu apakah sama dengan yang lain
Aku ibu ku sayang sama aku
Meski beliau sering memarahiku
Mungkin karena aku terlampau nakal atau ibu terlampau sayang padaku
Tapi dia tidak pernah menuntutku
Dia selalu mendoakanku

Lalu aku mendengar cerita dari sosok ibu yang lain
Sosok ibu yang mengaku telah berbudi
Mengaku telah menjadi sosok yang berpiutang
Kemudian salah atau tidak pengertianku
Dia menagih budinya

Entah aku yang bodoh atau semua ini di luar kekuasaanku
Tapi seolah hal itu memupuskan lagu di atas tadi
Hanya memberi tak harap kembali

Ayah, Rumah Kita Juga Ikut Terbakar


Pada saat itu senja telah menutup lembarannya
Berganti dengan gelitik suara remang-remang malam
Temaram lampu listrik memecahkan pupil
Orang berduyun berbaris rapi meniti jalan menuju masjid

Maklum saja, bulan ini bulan ramadhan
Paling tidak orang punya alasan untuk meramaikan masjid tatkala habis masa maghrib
Lihat saja, bukan sebuha cerita lagi
Kalau masjid lebih sepi tatkala bukan bulan ramadhan

Saat itu aku berbaris dalam deretan shaf terdepan
Di masjid Al Fauz di lingkungan kantor walikota Jakarta Pusat
Sholat Isya sudah selesai dilaksanakan
Tinggal sholat tarawih berjamaah

Di pertengahan sholat tarawih
Di sela sayup-sayup alunan ayat Al Quran
Terdengar sirine mobil pemadam kebakaran
Saat itu masih ruku sehingga tidak banyak yang mempedulikan
Kemudian tiba saat jari telunjuk mengacung dan kemudian merekat kembali
Salam kedua di ucapkan
Dan kemudian dari luar terdengar teriakan terbata-bata
"kabakaran..kebakaran..kebakaran di gang delapan"
Deretan shaf paling belakang akhirnya riuh
Bubar carut marut
Entah mungkin mereka ingin menonton, membantu atau bahkan menjadi korban
Yang jelas, sekitar 20% jamaah sholat tarawih malam itu bubar

Di sampingku, berdiri dengan tenang seorang bapak tua
Yang tetap konsentrasi pada ibadahnya
Meski orang carut marut mempedulikan kebakaran

Hingga akhirnya akhir dari sholat tarawih menjelang
Sang anak dari bapak yangt adinya juga berada di sampingku
Yang ikut lari mengikuti arah sirine mobil pemadam kebakaran
Kembali dengan baju basah keringat
Dengan nafas tersengal-sengal
Sedikit bijak dan mengatakan
"Kebakaran gang delapan sudah padam yah"
Sang bapak hanya menimpali dengan sunggingan senyum saja kepada berita dari anak itu

Dan kemudian sang anak pun menimpali lagi dengan kata- kata
"Ayah, Rumah Kita Juga Ikut Terbakar"