Detik demi detik waktu pun berlalu
Tak terasa matahari terbenam di ufuk barat
Seharian peluh yang tadinya basah
Kini telah mengering
Sinar mata yang kosong
Masih menanti bayangan tegap hadir di tengah daun pintu yang membuka sejak tadi pagi
Sejak melepas pergi sang buah hati
Ibu menunggu di ambang pintu
Menunggu tak sekedar menunggu
Berharap dan senantiasa berdoa
Sederhana saja
Anakku baik-baik saja
Sang ibu pun kemudian teringat
Tatkala dulu
Anaknya merengek minta dibelikan mainan
Menangis dibelikan jajan pasar
Bahkan berpesan dari lima hari sebelum hari pasar wage tiba
"Bu, aku pesen kue lapis, sate puyuh,geblek,cenil,tiplek, sengek,dan permen jahe ya bu"
Kata-kata itu membuat ibu tersenyum dan meneteskan air mata
Betapa sekarang anaknya telah dewasa
Tak lagi merengek padanya selain doa
Ibu juga teringat saat ibu musti merelakan makan siang jatah rapat
Meski saat itu ibu pun sebenarnya lapar
Namun nasi kotak berisi ayam dan mie bihun senantiasa menjadi sambut tawa sang anak-anaknya
Direlakan untuk tidak dimakan
Dibawa pulang untuk melihat tebusan
Tebusan tawa suka sang anaknya
Kini sang anak tlah dewasa
Membawa makan apapun bisa
Sadar dari lamunan
Sang ibu melihat sosok tegap muncul dari kejauhan
Hitam karena bayangan
Lambat laun
Sinar lampu yang sedari tadi tergantung di kepala ibu
Menerangi dan memperjelas siapa yang datang
Sang anak
Raut bahagia mendera
Ibu yang sabar menunggu
Sunday, 30 January 2011
Friday, 21 January 2011
Aku Adalah Seorang Anak Laki-Laki

Aku adalah seorang anak laki-laki yang dibesarkan dalam keluarga yang wah katanya
Keluarga dipandang berada katanya
Aku adalah seorang anak laki-laki satu-satunya
Bersaudara dua putri semua
Katanya aku pewaris harta keluarga
Tapi kata orang Jawa hidup itu wang sinawang
Selalu melihat rumput tetangga
Lebih hijau dipandang
Seolah yang dipandang tiada kurang
Seolah kita merasa iri terhadap mereka
Aku adaah seorang anak laki-laki penyendiri
Berpikir tentang pandangan orang lain terhadap keluargaku
Mencoba mengubah paradigma
Paradigma pembedaan
Menganggap semua itu sama
Pernah itu akan berhasil
Berhasil tapi salah
Mereka menyamakan
Namun justru berlebihan sampai merendahkan
Aku adalah seorang anak laki-laki memiliki ego tinggi
Bila aku dilukai
Bila aku disakiti
Dendam dalam hati ini mampu ku pendam sampai terbawa mimpi
Bahkan mungkin hingga menjelang mati
Akhirnya aku kembali pada pandangan orang awal
Sedikit angkuh untuk menumbuhkan wibawa
Mengurangi senyum dan berkata-kata
Karena pepatah mengatakan ibu dari wibawa adalah sedikit bicara
Aku adalah seorang anak laki-laki yang bersuka cita
Ketika semua orang yang menginjakku hancur berantakan
Memelas kasihan memohon ampunan
Berharap untuk diberi bantuan
Aku adalah seorang anak laki-laki yang memiliki perasaan
Ketegaanku tak setinggi langit ini
Rasa kasihanku justru senantiasa menyelimutiku
Senantiasa menolong orang lain selagi aku bisa
Selagi aku mampu
Aku adalah seorang anak laki-laki
Yang sebenarnya hidup di tengah keluarga yang bertengkar akhir-akhir ini
Kehangatan yang telah lama ada kian pudar adanya
Hiruk pikuk keduniaan hanya untuk masing-masing saja
Aku adalah seorang anak laki-laki yang memiliki dua adik perempuan
Aku ingin senantiasa menjaga mereka
Aku tidak ingin mereka merasakan beban perasaan ini
Aku hanya ingin melihat secercah senyum mereka
Di tengah kesunyian dalam keluarga
Aku adalah seorang anak laki-laki yang akan menikah nanti
Aku ingin istri yang mengerti
Aku ingin istri yang tidak bertengkar di depan anak-anaknya
Aku ingin istri yang mau dan hanya mampu bercerita di depan suaminya
Hanya bercurah perasaan kepada suaminya
Aku adalah seorang anak laki-laki yang akan menjadi ayah
Senantiasa membawa anak dalam canda tawa
Mendidik serta mengajarkan beberapa falsafah
Membawa memahami dunia yang kian sulit untuk dipelajari
Menuntun ke gerbang mimpi yang dinantikannya
Aku adalah seorang anak laki-laki yang kelak akan mati
Aku ingin membawa kehidupan ini
Untuk menjadi manfaat dan hormat
Kepada orang-orang yang menyayangiku
Mengajarkan aku banyak hal
Telah menemani aku dalam berbagai keadaan
Untuk ayah dan ibuku
Aku adalah seorang anak laki-laki
Yang dulu kau asuh dengan linangan air mata kebahagiaan
Yang senantiasa kau doakan dengan bergelimang kasih sayang
Aku akan senantiasa menghormati kalian
Aku akan senantiasa berdoa untuk kalian
Paling tidak aku bisa membelamu dengan doa anak yang sholeh
Dengan mohon tempat terindah kepada Tuhan
Terima kasihku takkan pernah cukup untuk kalian berdua
Aku adalah seorang anak laki-laki yang selalu sayang kepada kalian berdua
Untuk kedua adik perempuanku
Aku adalah seorang anak laki-laki satu-satunya yang menjadi saudaramu
Yang sering kalian panggil mas
Yang sering diajak bertengkar tatkala kecil dulu
Hingga satu diantara kalian musti meneteskan air mata
Aku turut bahagia melihat semangat kalian
Aku berdoa untuk kalian
Agar segala upaya kalian berhasil sesuai yang kalian impikan
Ayah dan ibu pasti bangga melihat kalian
Aku adalah seorang anak laki-laki yang senantiasa bangga terhadap kalian
Untuk calon istri dan calon anakku
Aku adalah seorang anak laki-laki yang pasti banyak salah
Aku hanyalah manusia biasa
Yang menjadi wadah atas dosa dan hina
Aku hanya selembar kertas penuh coretan
Aku ingin kalian bahagia
Itu saja
Posted by
Andhika Willy Wardana
Jam
19:14
Monday, 10 January 2011
Balada Abdi Negara (Bagian Ketiga)
Hari-hari pertama dijalani dengan saling berkenalan dan cari tahu lebih dalam isi dari instansi ini. Selidik punya selidik, ternyata Kepala Dinasnya berasal dari Sospol, sementara Kabidnya orang Administrasi Negara. Kepala Seksinya masih lumayan, lulusan Sekolah Pemerintahan tapi Jurusan Perencanaan, jadi agak nyambung sedikit kalau diajak ngobrol. Rangga cuma bisa geleng-geleng kepala, bagaimana bisa suatu urusan teknis ditangani orang-orang non teknis. Lebih parah lagi Bidang sebelah yang mengurusi IMB, ternyata Kabidnya dari Sekolah Tinggi Agama alias calon ustadz. Untung stafnya muda-muda dan ada orang teknisnya, jadi sang Kabid cuma tinggal teken doang.
* * * *
"Pantas saja tata ruang kota ini begitu semrawut, lha wong pengambil kebijakannya saja gak punya ilmu tata ruang", gumam Rangga.
"Jangan ngomong begitu. Di sini yang penting pengalaman. Pak Kabid walaupun bukan orang tata ruang, tapi sudah 10 tahun bekerja di bidang tata ruang. Pak Kadis juga begitu, beliau dengan Pak Kabid setali tiga uang. Lagipula, Pak Kadis itu kan kesayangan Walikota. Setiap pekerjaan penting selalu dilimpahkan ke beliau, walaupun ada instansi lain yang seharusnya menangani. Pak Kadis dengan Pak Kabid juga satu angkatan, bedanya dulu Pak Kadis dari S1, kalau Pak Kabid dari D3 Sipil, terus melanjutkan ke Administrasi Negara yang kuliahnya di kantor, biar bisa sambil kerja", Pak Rahmat mencoba menjelaskan gumaman Rangga.
"Yang namanya Pegawai Negeri itu harus bisa ditempatkan dimana saja, kapan saja. Dimana saja bukan hanya wilayah, tapi juga bidang tugas. Semua pegawai pasti akan mengalami perputaran, dari teknik ke non teknik, dari sosial ke teknik, dan seterusnya, biar punya pengalaman. Lagipula kalau setingkat Kabid atau Kadis kan lebih banyak bicara kebijakan, bukan soal teknis, jadi nanti yang memberi masukan soal teknis ya kamu-kamu ini", lanjut Pak Rahmat.
"Ooo, begitu to Pak. Jadi saya juga bisa ditempatkan di Kecamatan atau Kelurahan dong Pak?" tanya Rangga penasaran.
"Bisa saja. Itu Pak Wardi yang saya gantikan, sekarang jadi Kasi Ekbang di Kecamatan, padahal beliau itu kan dari Jurusan Tata Ruang. Namanya Pegawai Negeri, apalagi di Pemda, harus menguasai semuanya, meski gak harus detil. Pendeknya harus serba bisalah. Kamu kan bisa komputer, siapa tahu malah disuruh bikin web site Pemda", tukas Pak Rahmat.
"Hmmm, berarti saya juga harus belajar segala macam ya Pak. Okelah, terima kasih Pak atas infonya yang berharga ini. Jarang-jarang lho ada yang seperti Bapak, mau ngebocorin rahasia begini", Rangga senang sekali diberi penjelasan oleh Pak Rahmat.
"Bukan rahasia sih sebenarnya, tapi yang lain kan polanya learning by doing, belajar sambil bekerja. Kamu beruntung, masih ada yang mau bocorin hal beginian", Pak Rahmat tersenyum lebar sambil mengepulkan asap rokoknya.
* * * *
Wajarlah kalau bangsa ini susah maju. Pepatah Jawa mengatakan: Sing Kuoso ra Biso, Sing Biso ra Kuoso. Latar belakang pendidikan hanyalah salah satu bekal, namun yang lebih penting adalah wawasan dan kepekaan dalam menghadapi suatu persoalan. Tanpa itu, solusi yang ada hanyalah berdasarkan hukum positif semata, tanpa nurani.
Disalin dari tulisan Marshall Rommel 10 Januari 2011
* * * *
"Pantas saja tata ruang kota ini begitu semrawut, lha wong pengambil kebijakannya saja gak punya ilmu tata ruang", gumam Rangga.
"Jangan ngomong begitu. Di sini yang penting pengalaman. Pak Kabid walaupun bukan orang tata ruang, tapi sudah 10 tahun bekerja di bidang tata ruang. Pak Kadis juga begitu, beliau dengan Pak Kabid setali tiga uang. Lagipula, Pak Kadis itu kan kesayangan Walikota. Setiap pekerjaan penting selalu dilimpahkan ke beliau, walaupun ada instansi lain yang seharusnya menangani. Pak Kadis dengan Pak Kabid juga satu angkatan, bedanya dulu Pak Kadis dari S1, kalau Pak Kabid dari D3 Sipil, terus melanjutkan ke Administrasi Negara yang kuliahnya di kantor, biar bisa sambil kerja", Pak Rahmat mencoba menjelaskan gumaman Rangga.
"Yang namanya Pegawai Negeri itu harus bisa ditempatkan dimana saja, kapan saja. Dimana saja bukan hanya wilayah, tapi juga bidang tugas. Semua pegawai pasti akan mengalami perputaran, dari teknik ke non teknik, dari sosial ke teknik, dan seterusnya, biar punya pengalaman. Lagipula kalau setingkat Kabid atau Kadis kan lebih banyak bicara kebijakan, bukan soal teknis, jadi nanti yang memberi masukan soal teknis ya kamu-kamu ini", lanjut Pak Rahmat.
"Ooo, begitu to Pak. Jadi saya juga bisa ditempatkan di Kecamatan atau Kelurahan dong Pak?" tanya Rangga penasaran.
"Bisa saja. Itu Pak Wardi yang saya gantikan, sekarang jadi Kasi Ekbang di Kecamatan, padahal beliau itu kan dari Jurusan Tata Ruang. Namanya Pegawai Negeri, apalagi di Pemda, harus menguasai semuanya, meski gak harus detil. Pendeknya harus serba bisalah. Kamu kan bisa komputer, siapa tahu malah disuruh bikin web site Pemda", tukas Pak Rahmat.
"Hmmm, berarti saya juga harus belajar segala macam ya Pak. Okelah, terima kasih Pak atas infonya yang berharga ini. Jarang-jarang lho ada yang seperti Bapak, mau ngebocorin rahasia begini", Rangga senang sekali diberi penjelasan oleh Pak Rahmat.
"Bukan rahasia sih sebenarnya, tapi yang lain kan polanya learning by doing, belajar sambil bekerja. Kamu beruntung, masih ada yang mau bocorin hal beginian", Pak Rahmat tersenyum lebar sambil mengepulkan asap rokoknya.
* * * *
Wajarlah kalau bangsa ini susah maju. Pepatah Jawa mengatakan: Sing Kuoso ra Biso, Sing Biso ra Kuoso. Latar belakang pendidikan hanyalah salah satu bekal, namun yang lebih penting adalah wawasan dan kepekaan dalam menghadapi suatu persoalan. Tanpa itu, solusi yang ada hanyalah berdasarkan hukum positif semata, tanpa nurani.
Disalin dari tulisan Marshall Rommel 10 Januari 2011
Posted by
Andhika Willy Wardana
Jam
17:07
Balada Abdi Negara (Bagian Kedua)
HARI PERTAMA MENJADI ABDI NEGARA
Setelah menerima surat pemberitahuan tanda lulus tes CPNS, mereka yang lulus dikumpulkan di ruang rapat Bagian Kepegawaian untuk diberikan arahan oleh Kabag Kepegawaian. Bapak Kabag berbicara berbagai hal, namun ada beberapa catatan penting yang paling mudah diingat, bahwa menjadi pegawai negeri harus siap ditempatkan dimanapun di seluruh Indonesia, tidak boleh menolak perintah, dan harus menjaga loyalitas kepada pimpinan. Kepandaian bukan lagi hal mutlak dalam bekerja, namun kepercayaan pimpinan yang akan menentukan karir seorang pegawai. Ada satu lagi pesan bahwa di era reformasi ini, pegawai harus lebih hati-hati lagi mengingat semakin banyak mata yang melihat kinerja para abdi negara, bila tampak negatif, langsung mencuat di media. Awalnya memang belum sepenuhnya mudeng dengan arahan beliau, namun dalam perjalanan nanti, akan nampak satu persatu pesan dari beliau tersebut. Kemudian setelah rapat ditutup, setiap CPNS memeroleh surat penugasan di instansi masing-masing di lingkungan Pemda.
Keluar dari ruang rapat Bagian Kepegawaian, Rangga dan Andi langsung melapor ke instansi dimana mereka ditempatkan. Setelah menemui Sekretaris dan menyerahkan berkas-berkas yang diperlukan, mereka menghadap Kepala Dinas dan lagi-lagi memeroleh arahan yang isinya hampir seragam dengan yang pernah disampaikan Kabag Kepegawaian. Hanya ada sedikit yang membedakan, bila ada hal-hal aneh ditemui, tidak usah heran atau bingung. Anggap saja itu hal biasa dan tidak perlu dibicarakan. Lebih baik diam daripada jadi korban, apalagi anak baru biasanya gampang dipengaruhi. Selesai menghadap, mereka langsung diarahkan ke Bidang masing-masing sesuai dengan arahan Bapak Kepala Dinas.
* * * *
"Selamat Siang Pak, ini bidang Prasarana?" tanya Rangga pada seseorang di ruangan itu.
"Betul, Anda siapa?" jawab orang tersebut sambil tetap sibuk membereskan berkas-berkas yang berserakan.
"Saya Rangga Pak, pegawai baru di sini".
"Oooo. Ya ya. Saya sudah dengar dari Pak Sekretaris kalau ada orang baru di sini. Mari silakan", Bapak itu memersilakan Rangga masuk ruangan dan duduk di depan mejanya.
"Saya Rahmat, Kepala Seksi Tata Ruang. Menurut arahan Pak Kabid (Kepala Bidang-pen), Anda ditempatkan di bawah saya", Pak Rahmat mulai memerkenalkan diri.
"Hmm, mereka sudah tahu rupanya", gumam Rangga dalam hati.
"Baiklah, coba perkenalkan dirimu, dari mana asalnya, terus nanti saya perkenalkan dengan teman-teman di sini. Kebetulan Pak Kabid sedang rapat, jadi nanti saja menghadap beliaunya".
* * * *
Singkat cerita, setelah perkenalan dengan Pak Rahmat dan teman-teman, Rangga diberikan satu meja usang yang tampak tak terawat, seperti bekas meja belajar. Maklum, Pemda ini merupakan pemekaran dari Kabupaten induk, jadi segalanya masih mengandalkan barang-barang sisa dari induknya. Berhubung belum ada tugas mendesak, Rangga hanya diberikan tugas membaca sendiri tugas pokok Bidang Prasarana dan beberapa dokumen penting lainnya untuk dipelajari. Sementara teman-teman lainnya sibuk di depan komputer, entah apa yang dikerjakan. Rangga coba-coba mengintip sambil membaca, dan ternyata mereka malah asyik main Solitaire, Digger, bahkan ada yang main catur di sudut ruangan, karena mereka tidak mengerti komputer.
* * * *
"Hmmm, ternyata nikmat juga ya jadi pegawai negeri. Banyak waktu luang, sudah itu digaji negara lagi", gumam Rangga.
"Apa? Enak saja kamu ngomong begitu!!" sergah Ahmad, pegawai senior di ruangan itu.
"Oh, maaf Pak. Lagi ngelamun", Rangga kaget gumamannya terdengar ke bangku sebelah.
"Di sini itu, kita harus siap setiap saat bila bos memberi perintah. Kalau tidak ada perintah, ya sudah jangan macam-macam. Diam saja sambil nunggu perintah, gak usah nyari-nyari kerjaan. Biarin aja pada main game, daripada bengong", Pak Rahmat masih terlihat agak gusar.
"Ooo gitu. Saya kira kita ikut mikirin apa yang mau dikerjakan", Rangga masih agak bingung melihat situasi ini.
"Sudahlah, kamu diam aja. Duduk manis di sini. Nanti kalau ada perintah, baru kerjakan", Pak Rahmat coba mengingatkan lagi.
* * * *
Sewaktu di swasta dulu, rasanya jarang sekali pegawai bisa main game sebebas ini. Tanpa ada perintah pimpinanpun, pekerjaan sudah pasti ada dan harus ada target waktu, jadi tak ada waktu buat berleha-leha. Di sini rasanya seperti robot, tinggal menunggu remote pimpinan, baru semua bekerja.
Disalin dari tulisan Marshall Romme pada situs Politikana 16 Januari 2011
Setelah menerima surat pemberitahuan tanda lulus tes CPNS, mereka yang lulus dikumpulkan di ruang rapat Bagian Kepegawaian untuk diberikan arahan oleh Kabag Kepegawaian. Bapak Kabag berbicara berbagai hal, namun ada beberapa catatan penting yang paling mudah diingat, bahwa menjadi pegawai negeri harus siap ditempatkan dimanapun di seluruh Indonesia, tidak boleh menolak perintah, dan harus menjaga loyalitas kepada pimpinan. Kepandaian bukan lagi hal mutlak dalam bekerja, namun kepercayaan pimpinan yang akan menentukan karir seorang pegawai. Ada satu lagi pesan bahwa di era reformasi ini, pegawai harus lebih hati-hati lagi mengingat semakin banyak mata yang melihat kinerja para abdi negara, bila tampak negatif, langsung mencuat di media. Awalnya memang belum sepenuhnya mudeng dengan arahan beliau, namun dalam perjalanan nanti, akan nampak satu persatu pesan dari beliau tersebut. Kemudian setelah rapat ditutup, setiap CPNS memeroleh surat penugasan di instansi masing-masing di lingkungan Pemda.
Keluar dari ruang rapat Bagian Kepegawaian, Rangga dan Andi langsung melapor ke instansi dimana mereka ditempatkan. Setelah menemui Sekretaris dan menyerahkan berkas-berkas yang diperlukan, mereka menghadap Kepala Dinas dan lagi-lagi memeroleh arahan yang isinya hampir seragam dengan yang pernah disampaikan Kabag Kepegawaian. Hanya ada sedikit yang membedakan, bila ada hal-hal aneh ditemui, tidak usah heran atau bingung. Anggap saja itu hal biasa dan tidak perlu dibicarakan. Lebih baik diam daripada jadi korban, apalagi anak baru biasanya gampang dipengaruhi. Selesai menghadap, mereka langsung diarahkan ke Bidang masing-masing sesuai dengan arahan Bapak Kepala Dinas.
* * * *
"Selamat Siang Pak, ini bidang Prasarana?" tanya Rangga pada seseorang di ruangan itu.
"Betul, Anda siapa?" jawab orang tersebut sambil tetap sibuk membereskan berkas-berkas yang berserakan.
"Saya Rangga Pak, pegawai baru di sini".
"Oooo. Ya ya. Saya sudah dengar dari Pak Sekretaris kalau ada orang baru di sini. Mari silakan", Bapak itu memersilakan Rangga masuk ruangan dan duduk di depan mejanya.
"Saya Rahmat, Kepala Seksi Tata Ruang. Menurut arahan Pak Kabid (Kepala Bidang-pen), Anda ditempatkan di bawah saya", Pak Rahmat mulai memerkenalkan diri.
"Hmm, mereka sudah tahu rupanya", gumam Rangga dalam hati.
"Baiklah, coba perkenalkan dirimu, dari mana asalnya, terus nanti saya perkenalkan dengan teman-teman di sini. Kebetulan Pak Kabid sedang rapat, jadi nanti saja menghadap beliaunya".
* * * *
Singkat cerita, setelah perkenalan dengan Pak Rahmat dan teman-teman, Rangga diberikan satu meja usang yang tampak tak terawat, seperti bekas meja belajar. Maklum, Pemda ini merupakan pemekaran dari Kabupaten induk, jadi segalanya masih mengandalkan barang-barang sisa dari induknya. Berhubung belum ada tugas mendesak, Rangga hanya diberikan tugas membaca sendiri tugas pokok Bidang Prasarana dan beberapa dokumen penting lainnya untuk dipelajari. Sementara teman-teman lainnya sibuk di depan komputer, entah apa yang dikerjakan. Rangga coba-coba mengintip sambil membaca, dan ternyata mereka malah asyik main Solitaire, Digger, bahkan ada yang main catur di sudut ruangan, karena mereka tidak mengerti komputer.
* * * *
"Hmmm, ternyata nikmat juga ya jadi pegawai negeri. Banyak waktu luang, sudah itu digaji negara lagi", gumam Rangga.
"Apa? Enak saja kamu ngomong begitu!!" sergah Ahmad, pegawai senior di ruangan itu.
"Oh, maaf Pak. Lagi ngelamun", Rangga kaget gumamannya terdengar ke bangku sebelah.
"Di sini itu, kita harus siap setiap saat bila bos memberi perintah. Kalau tidak ada perintah, ya sudah jangan macam-macam. Diam saja sambil nunggu perintah, gak usah nyari-nyari kerjaan. Biarin aja pada main game, daripada bengong", Pak Rahmat masih terlihat agak gusar.
"Ooo gitu. Saya kira kita ikut mikirin apa yang mau dikerjakan", Rangga masih agak bingung melihat situasi ini.
"Sudahlah, kamu diam aja. Duduk manis di sini. Nanti kalau ada perintah, baru kerjakan", Pak Rahmat coba mengingatkan lagi.
* * * *
Sewaktu di swasta dulu, rasanya jarang sekali pegawai bisa main game sebebas ini. Tanpa ada perintah pimpinanpun, pekerjaan sudah pasti ada dan harus ada target waktu, jadi tak ada waktu buat berleha-leha. Di sini rasanya seperti robot, tinggal menunggu remote pimpinan, baru semua bekerja.
Disalin dari tulisan Marshall Romme pada situs Politikana 16 Januari 2011
Posted by
Andhika Willy Wardana
Jam
17:00
Balada Abdi Negara (Bagian Pertama)
Menjadi abdi negara alias PNS saat ini menjadi lapangan pekerjaan yang paling menjanjikan di tengah krisis moneter yang belum sepenuhnya berakhir. Berbagai cara dilakukan mulai dari yang halal hingga haram untuk menjadi seorang PNS. Ada yang benar-benar belajar hingga lulus tes, ada pula yang menyiapkan hingga puluhan juta rupiah untuk lolos jadi PNS. Mereka yang berhasil, apalagi yang benar-benar murni, tentunya merupakan anugerah tersendiri yang tiada taranya seperti lolos dari lubang jarum. Sementara mereka yang menggunakan memo dan rupiah langkah pertama yang harus dipikirkan adalah bagaimana mengembalikan modal yang sudah dikeluarkan dulu.
* * * *
"Kamu bisa masuk sini bayar berapa?" tanya Andi pada Rangga, sesama teman satu angkatan tes CPNS.
"Cuma dua ribu rupiah", jawab Rangga santai.
"Ah masa? Aku aja sampai sepuluh juta buat masuk. Itu juga pake memo Pak Sekda", Andi mulai buka rahasia.
"Bener koq. Cuma dua rupiah buat ngirim lamaran pake Kilat Khusus. Sudah itu selipkan perangko dua ribu rupiah untuk surat pemberitahuan lulus tidaknya tes tertulis. Kalo lulus langsung dipanggil wawancara, dan jangan lupa perangko dua ribu rupiah lagi buat pengiriman surat pemberitahuan. Jadi total tiga kali dua ribu saja", dengan bangganya Rangga bercerita.
"Yang bener ah. Apalagi ditaruh disini. Untuk masuk sini aja harus nambah lagi lima juta. Heeehhh", keluh Andi. Kebetulan pamannya memang Sekda di tempat itu, jadi langkahnya lebih mulus untuk ditempatkan di situ.
"Jangan-jangan kamu ponakannya Gubernur ya?" Andi masih penasaran.
"Gak juga. Keluargaku semua kerja di swasta, bahkan ada yang berwiraswasta. Sekarang emang kondisi lagi carut marut, makanya aku disuruh tes PNS", Rangga mempertegas jawabannya.
"Jadi, kamu benar-benar ikut tes? Saya juga ikut tes koq, gak pake jalur belakang. Tapi tetap saja dimintai uang oleh oknum panitia", Andi masih tetap penasaran.
"Kamu aja gak PD. Aku juga sempat ditawari koq, tapi tak jawab aja, mau diterima syukur, gak diterima ya gak pa pa. Yang rugi juga negara koq, mengabaikan orang pandai yang mau mengabdi. Mereka juga mikirlah, kalo semua yang masuk bayar, apa kata dunia?" dengan entengnya Rangga menangkis serangan Andi.
* * * *
Banyak orang tak percaya ketika Rangga lulus tes CPNS dengan hanya mengeluarkan tiga kali dua ribu rupiah saja, apalagi ditempatkan di sebuah Pemerintah Kota yang letaknya strategis, bukan di pedalaman. Demikian kuat pola perekrutan berbasis koncoisme dan uang, sehingga sulit dipercaya seseorang bisa menembus logika itu, apalagi tak ada teman atau pejabat satupun yang merekomendasikannya. Tapi itulah dunia, selalu ada saja keajaiban di tengah sesuatu hal yang sudah menjadi kebiasaan. Tidak semua hal buruk sepenuhnya, demikian pula tidak semua baik seluruhnya.
Banyak alasan mengapa orang berebut mengabdi kepada negara ini. Namun alasan sebenarnya bukan untuk mengabdi negara, tapi lebih kepada kenyamanan bekerja dan peluang untuk memeroleh penghasilan lebih, entah dengan korupsi uang atau waktu. Selama aturan pemecatan masih longgar, maka peluang itu tetap terbuka. Apalagi masih dapat pensiun setelah tua nanti, sehingga sampai matipun kehidupan abdi negara masih dijamin oleh negara.
Tidak semua penerimaan CPNS menggunakan uang besar, tapi cukup dengan biaya pengganti ongkos kirim surat menyurat saja. Apalagi jaman internet sekarang ini, cukup buat beli pulsa internet atau mampir ke warnet untuk mendaftar dan mencek nama kita. Selama kita mampu mengikuti tes, jangan patah arang dulu, masih ada peluang untuk lolos tanpa harus mengeluarkan uang banyak atau mengandalkan memo pejabat.
NB. Saat itu ongkos Kilat Khusus cuma dua ribu rupiah
Disalin dari tulisan Marshall Rommel di situs Politikana, Rabu 5 Januari 2011
* * * *
"Kamu bisa masuk sini bayar berapa?" tanya Andi pada Rangga, sesama teman satu angkatan tes CPNS.
"Cuma dua ribu rupiah", jawab Rangga santai.
"Ah masa? Aku aja sampai sepuluh juta buat masuk. Itu juga pake memo Pak Sekda", Andi mulai buka rahasia.
"Bener koq. Cuma dua rupiah buat ngirim lamaran pake Kilat Khusus. Sudah itu selipkan perangko dua ribu rupiah untuk surat pemberitahuan lulus tidaknya tes tertulis. Kalo lulus langsung dipanggil wawancara, dan jangan lupa perangko dua ribu rupiah lagi buat pengiriman surat pemberitahuan. Jadi total tiga kali dua ribu saja", dengan bangganya Rangga bercerita.
"Yang bener ah. Apalagi ditaruh disini. Untuk masuk sini aja harus nambah lagi lima juta. Heeehhh", keluh Andi. Kebetulan pamannya memang Sekda di tempat itu, jadi langkahnya lebih mulus untuk ditempatkan di situ.
"Jangan-jangan kamu ponakannya Gubernur ya?" Andi masih penasaran.
"Gak juga. Keluargaku semua kerja di swasta, bahkan ada yang berwiraswasta. Sekarang emang kondisi lagi carut marut, makanya aku disuruh tes PNS", Rangga mempertegas jawabannya.
"Jadi, kamu benar-benar ikut tes? Saya juga ikut tes koq, gak pake jalur belakang. Tapi tetap saja dimintai uang oleh oknum panitia", Andi masih tetap penasaran.
"Kamu aja gak PD. Aku juga sempat ditawari koq, tapi tak jawab aja, mau diterima syukur, gak diterima ya gak pa pa. Yang rugi juga negara koq, mengabaikan orang pandai yang mau mengabdi. Mereka juga mikirlah, kalo semua yang masuk bayar, apa kata dunia?" dengan entengnya Rangga menangkis serangan Andi.
* * * *
Banyak orang tak percaya ketika Rangga lulus tes CPNS dengan hanya mengeluarkan tiga kali dua ribu rupiah saja, apalagi ditempatkan di sebuah Pemerintah Kota yang letaknya strategis, bukan di pedalaman. Demikian kuat pola perekrutan berbasis koncoisme dan uang, sehingga sulit dipercaya seseorang bisa menembus logika itu, apalagi tak ada teman atau pejabat satupun yang merekomendasikannya. Tapi itulah dunia, selalu ada saja keajaiban di tengah sesuatu hal yang sudah menjadi kebiasaan. Tidak semua hal buruk sepenuhnya, demikian pula tidak semua baik seluruhnya.
Banyak alasan mengapa orang berebut mengabdi kepada negara ini. Namun alasan sebenarnya bukan untuk mengabdi negara, tapi lebih kepada kenyamanan bekerja dan peluang untuk memeroleh penghasilan lebih, entah dengan korupsi uang atau waktu. Selama aturan pemecatan masih longgar, maka peluang itu tetap terbuka. Apalagi masih dapat pensiun setelah tua nanti, sehingga sampai matipun kehidupan abdi negara masih dijamin oleh negara.
Tidak semua penerimaan CPNS menggunakan uang besar, tapi cukup dengan biaya pengganti ongkos kirim surat menyurat saja. Apalagi jaman internet sekarang ini, cukup buat beli pulsa internet atau mampir ke warnet untuk mendaftar dan mencek nama kita. Selama kita mampu mengikuti tes, jangan patah arang dulu, masih ada peluang untuk lolos tanpa harus mengeluarkan uang banyak atau mengandalkan memo pejabat.
NB. Saat itu ongkos Kilat Khusus cuma dua ribu rupiah
Disalin dari tulisan Marshall Rommel di situs Politikana, Rabu 5 Januari 2011
Posted by
Andhika Willy Wardana
Jam
16:57
Saturday, 8 January 2011
Sungguh Sayang Bila Ini Yang Terjadi

"walaupun hidup seribu tahun, kalau tak sembahyang apa gunanya, walaupun hidup seribu tahun kalau tak sembahyang apa gunanya
Lirik dari lagu sepohon kayu yang dinyanyikan salah seorang santri atau penyanyi. Memberikanku inspirasi. Memang benar. Manusia di dunia ini banyak merugi. Coba pikirkan, dulu kita terlahir dalam keadaan yang benar-benar bersih. Terus sekarang, karena hingar bingar kehidupan, modernisasi, akhirnya kita terselubungi dengan dosa. Dan butuh waktu untuk membersihkan, bahkan tak dapat dipungkiri saat kita sedang giat membersihkan diri, tiba-tiba saja datang hujan dosa tanpa kita sempat berpayung karena kita tengah sibuk dengan bersih-bersih diri kita.
Sungguh, manusia itu mengalami kerugian. Ya, dan itu memang sudah digariskan.
Coba saja tengok perjalanan sejak dari kecil. Dulu kita diajari sholat, ngaji, adzan,menghormati orang tua atau yang dituakan dan lain sebagainya. Tapi sekarang saat kita telah tumbuh sedemikian besarnya, kita justru lupa akan pelajaran-pelajaran itu. Tidakkah itu sudah merupakan hal yang sangat rugi?
Sekarang, untuk adzan saja ogah-ogahan dengan alih-alih sudah saatnya yang muda yang berkarya, bahkan mendengar adzan saja perasaan sudah tak tergugah lagi. Sholat masih dinomorduakan, ngaji?entah kalo yang satu ini...hormat kepada yang lebih tua?sudah susah di negeri ini bahkan menghormati sesama saja tak mampu.
Sedih sebenarnya hal seperti ini terjadi, tapi bagaimana lagi. Alloh telah mengijinkan setan untuk menggoda manusia. Alloh telah menciptakan dunia ini lengkap dengan isinya, lengkap dengan uba rampenya.
Bertawakallah, bersabarlah, berikhtiarlah,berdoalah agar senantiasa berjalan di jalan yang di ridhoi Alloh SWT.Karena sungguh sedih bila kerugian itu tak tergantikan dan dihari penghitungan kelak kita benar-benar dikategorikan sebagai makhluk yang sangat rugi. Ada pengecualian agar orang-orang tidak merugi yaitu kecuali termasuk mereka yang selalu beramal saleh, saling menasehati dalam kebenaran dan kesabaran.
Posted by
Andhika Willy Wardana
Jam
22:16
Friday, 7 January 2011
Balada Pegawai di Lembaga Berlambang Garuda (Bagian I)

Pagi itu udara dingin menyapu kulitku. 6 jam terlelap dalam balutan udara jakarta. Meskipun panas namun tak terasa saat malam bergelayut dengan lampu-lampu gedung bertingkat. Polusi asap berganti kabut. Perlahan pula ku golekkan tubuh yang telah beristirahat. Ku buka mata dan melihat jam tangan yang aku gantungkan di dinding. Mungkin gak itu disebut sebagai jam dinding. Samar-samar ku lihat jam itu menunjukkan pukul 04.30. Sayup-sayup ku dengar suara rekaman orang mengaji. Terdengar dari masjid di dekat kosku. Aku bergegas menuju kamar mandi. Membasuh muka dan kemudian berwudhu. Aku sempat bercermin, meliaht wajahku yang matanya masih berbentuk tanda strip.
Meraih kain sarung yang tergantung di lemari, kemudian aku bergegas menuju masjid Baiturahman dekat kosku. Berbaur dengan masyarakat sekitar dalam kesejukan sholat subuh. Dua rokaat yang cukup mendekatkan jiwa manusia kepada sang khalik.
Salam telah terucap, bergegas pulang ke kost. Masih meneduhkan suasana hati dengan beberapa ayat Quran. Sayup-sayup mungkin membangunkan tetangga kos. Tapi tidak apalah, toh itu juga bakal memberikan manfaat kepada mereka bila mereka bisa bangun lebih pagi.
Tertutup sudah Quran setelah beberapa ayat tergaung di kamarku. Berganti dengan suara dan tayangan dari televisi. Newsya, tayangan televisi favorit pertama di pagi hari. Mengetahui apa-apa yang terjadi sehari sebelumnya. Sambil menunggu waktu siang. Menit demi menit berlalu dan jam pun menunjukkan pukul 06.00. Berniat untuk mandi, membuka pintu dan melongok ke arah kamar mandi. Pintu kamar mandi tertutup, berarti sedang ada orang yang memakai kamar mandi tersebut. Akhirnya ku rebahkan kembali badan ini di tempat tidur yang baru aja aku ganti spreinya. Aku tonton lagi televisi, kali ini aku tonton acara spongebob squarepants, karena pada akhirnya isi berita dari berbagai stasiun televisi sama isinya.
Akhirnya samar-samar aku dengar suara pintu kamar mandi dibuka. Maklum, kunci kamar mandi agak seret, jadi terdengar kalo pintu kamar mandinya dibuka. Akhirnya aku bergegas meraih peralatan mandi dan handuk yang aku kaitkan di tempat jemuran handuk.
Mengguyur badan dengan air adalah hal paling menyenangkan, badan jadi segar. Bersih tentu saja. Setelah sekian menit bercengkerama dengan buliran busa sabun, busa pasta gigi akhirnya kusudahi romantisme ku dengan kamar mandi. Kembali menuju kamar, berias diri dengan peralatan ala kadarnya. Cuma hand & body lotion, minyak rambut dan deodorant. Mengenakan kemeja yang digantung rapi di dalam lemari. 15 menit cukup sudah aku bersiap. Sambil mendendangkan lagu, aku mengenakan sepatu, mematikan semua perkakas listrik di kamar, mengunci pintu dan kemudian menyeret sepeda keluar, mengunci gerbang dan mengayuh sepeda.
Kantorku tidak terletak jauh dari kosku. Hanya diperlukan jalan kaki saja sebenarnya cukup. 10 menit jalan kaki, 6 menit menggunakan sepeda. Tapi tidak untuk sepeda motor bahkan mobil, karena justru akan memakan waktu lebih lama sekitar 15 menit. Hal ini karena kondisi jalanan ibukota negara ini sudah sangat sumpek, penuh dengan kendaraan bermotor. Dengan jalan kaki ato sepeda aku masih bisa nelusup lewat gang-gang kecil.
Aturan kantor menyebutkan harus datang paling lambat jam 08.00 tepat. Dengan beberapa kayuhan santai sepedaku, akhirnya aku bisa memarkirkan sepedaku kurang dari jam 7.30, dan absen juga masih di bawah jam 7.30.
Melangkahkan kaki ke lantai tiga tempat aku bekerja di lembaga berlambangkan garuda. Menekan tombol up di lift kantor, ting..tung..tanda lift telah sampai di lantai tiga. Persis di depan pintu lift ada ruangan pantry, aku selosorkan langkah ke pantry dulu, mengingat aku belum sarapan. Indomie goreng ya pok...begitu penuturanku kepada OB senior di kantorku yang biasanya dipanggil mpok.
Sesaat kemudian aku telah sampai di mejaku, suasana kantor masih belum begitu ramai. Maklum ini mas jam 7.30 lebih dikit. Kantor baru rame saat jam menunjukkan pukul 7.50. Sambil menunggu pesenan mie goreng jadi, aku berganti sepatu, dari sepatu kats menjadi sepatu kerja, melepas jaket, dan minum segelas air. Bersiap menghadapi kerja menjadi salah satu staf di lembaga di bawah lambang garuda.
Posted by
Andhika Willy Wardana
Jam
11:19
Tuesday, 4 January 2011
Balada Tukang Nasi Goreng

Seperti biasanya, saat malam menjelang perut ini terasa lapar. Padahal sebentar lagi mata ini kan terpejam. Ealah ada -ada aja nih perut tiba-tiba minta diisi, padahal sore tadi sudah makan malam.
Sesaat setelah membasuh badan dengan air mandi, berwudhu kemudian menunaikan sholat isya' perlahan tapi pasti aku mengarahkan langkah ke tukang nasi goreng langgananku di sudut salah satu gang Petojo Enclek. Di Jakarta memang banyak tukang nasi goreng bila malam menjelang.Pesaingnya?adalah tukang sate... Namun, sebenarnya kalau dicermati nasi goreng di jakarta adalah nasi goreng kecap, karena coklat di nasi goreng adalah warna dari kecap yang dibubuhkan. Tak berasa nasi yang digoreng. Yah...kebanyakan memang seperti itu, tapi aku menemukan (paling tidak)penjual nasi goreng yang mencoklatkan nasinya benar-benar karena digoreng. Meski tentu saja tidak seenak nasi goreng di jogja maupun nasi goreng kebumen yang terkenal dengan aroma arangnya.
Menu khas nasi goreng di jakarta adalah:nasi goreng, mie goreng, mie rebus, kwiteau goreng, kwiteau rebus, dan magelangan. Semua itu adalah menu standar yang dihidangkan oleh para pencari nafkah di bidang kuliner ini. Kalau dilihat di gerobaknya, pasti komposisinya adalah telur ayam, daging ayam dan jeroan, mie, nasi,kwiteau,sawi,kubis, kerupuk, bumbu racikan dan wadah air minum.
Sedikit ngobrol dengan bapak tukang nasi goreng. Sedikit kisah yang dia ceritakan, dia berasal dari salah satu kabupaten di Jawa Tengah yang memiliki ciri khas bahasa ngapak. Memiliki delapan anak, 7 diantaranya berada di jakarta sementara yang paling bungsu masih duduk di kelas SMP. Istri di tinggal di rumah, untuk mengurusi pekarangan yang ada di kampung halaman, katanya.
Sudah lama rupanya bapak ini berjualan di jakarta, sejak tahun 80an. Lagi-lagi itu berdasar penuturannya. Dari hasil berjualan itu, semua anaknya bisa sekolah dan pada akhirnya bisa mencari nafkah sendiri. Di jakarta.
Sedikit bercerita tentang beberapa kisah yang pernah dialami bapak tersebut. Aku sambil menikmati nasi goreng yang matang bukan karena kecap. Pelan-pelan, bapak itu bercerita. Perlahan pula aku mengerti. Hidup itu memang tak mudah, namun juga tidak sulit jika kita mau berusaha, karena Alloh telah menciptakan semua lengkap beserta uba rampenya
Begitulah sekelumit kisah dari bapak penjual nasi goreng yang berada di kawasan Petojo Enclek, Petojo Selatan, Gambir, Jakarta Pusat.
(sudah lama tak nulis, jadi amburadul gini...hehehehe)
Posted by
Andhika Willy Wardana
Jam
23:48
Subscribe to:
Posts (Atom)