Wednesday, 25 November 2009

Perancang Lambang RI yang terlupakan...


SEPANJANG orang Indonesia, siapa tak kenal burung Garuda berkalung perisai yang merangkum lima sila (Pancasila). Tapi orang Indonesia mana sajakah yang tahu, siapa pembuat lambang negara itu dulu? Dia adalah Sultan Hamid II, yang terlahir dengan nama Syarif Abdul Hamid Alkadrie, putra sulung Sultan Pontianak; Sultan Syarif Muhammad Alkadrie. Lahir di Pontianak tanggal 12 Juli 1913.

Dalam tubuhnya mengalir darah Indonesia, Arab –walau pernah diurus ibu asuh berkebangsaan Inggris. Istri beliau seorang perempuan Belanda yang kemudian melahirkan dua anak –keduanya sekarang di Negeri Belanda.

Syarif Abdul Hamid Alkadrie menempuh pendidikan ELS di Sukabumi, Pontianak, Yogyakarta, dan Bandung. HBS di Bandung satu tahun, THS Bandung tidak tamat, kemudian KMA di Breda, Negeri Belanda hingga tamat dan meraih pangkat letnan pada kesatuan tentara Hindia Belanda.

Ketika Jepang mengalahkan Belanda dan sekutunya, pada 10 Maret 1942, ia tertawan dan dibebaskan ketika Jepang menyerah kepada Sekutu dan mendapat kenaikan pangkat menjadi kolonel. Ketika ayahnya mangkat akibat agresi Jepang, pada 29 Oktober 1945 dia diangkat menjadi Sultan Pontianak menggantikan ayahnya dengan gelar Sultan Hamid II. Dalam perjuangan federalisme, Sultan Hamid II memperoleh jabatan penting sebagai wakil Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB) berdasarkan konstitusi RIS 1949 dan selalu turut dalam perundingan-perundingan Malino, Denpasar, BFO, BFC, IJC dan KMB di Indonesia dan Belanda. Sultan Hamid II kemudian memperoleh jabatan Ajudant in Buitenfgewone Dienst bij HN Koningin der Nederlanden, yakni sebuah pangkat tertinggi sebagai asisten ratu Kerajaan Belanda dan orang Indonesia pertama yang memperoleh pangkat tertinggi dalam kemiliteran. Pada 21-22 Desember 1949, beberapa hari setelah diangkat menjadi Menteri Negara Zonder Porto Folio, Westerling yang telah melakukan makar di Tanah Air menawarkan “over commando” kepadanya, namun dia menolak tegas. Karena tahu Westerling adalah gembong APRA. Selanjutnya dia berangkat ke Negeri Belanda, dan pada 2 Januari 1950, sepulangnya dari Negeri Kincir itu dia merasa kecewa atas pengiriman pasukan TNI ke Kalbar - karena tidak mengikutsertakan anak buahnya dari KNIL. Pada saat yang hampir bersamaan, terjadi peristiwa yang menggegerkan; Westerling menyerbu Bandung pada 23 Januari 1950. Sultan Hamid II tidak setuju dengan tindakan anak buahnya itu, Westerling sempat di marah. Sewaktu Republik Indonesia Serikat dibentuk, dia diangkat menjadi Menteri Negara Zonder Porto Folio dan selama jabatan menteri negara itu ditugaskan Presiden Soekarno merencanakan, merancang dan merumuskan gambar lambang negara. Dari transkrip rekaman dialog Sultan Hamid II dengan Masagung (1974) sewaktu penyerahan file dokumen proses perancangan lambang negara, disebutkan “ide perisai Pancasila” muncul saat Sultan Hamid II sedang merancang lambang negara.
Dia teringat ucapan Presiden Soekarno, bahwa hendaknya lambang negara mencerminkan pandangan hidup bangsa, dasar negara Indonesia, di mana sila-sila dari dasar negara, yaitu Pancasila divisualisasikan dalam lambang negara. Tanggal 10 Januari 1950 dibentuk Panitia Teknis dengan nama Panitia Lencana Negara di bawah koordinator Menteri Negara Zonder Porto Folio Sultan Hamid II dengan susunan panitia teknis M Yamin sebagai ketua, Ki Hajar Dewantoro, M A Pellaupessy, Moh Natsir, dan RM Ng Purbatjaraka sebagai anggota. Panitia ini bertugas menyeleksi usulan rancangan lambang negara untuk dipilih dan diajukan kepada pemerintah. Merujuk keterangan Bung Hatta dalam buku “Bung Hatta Menjawab” untuk melaksanakan Keputusan Sidang Kabinet tersebut Menteri Priyono melaksanakan sayembara. Terpilih dua rancangan lambang negara terbaik, yaitu karya Sultan Hamid II dan karya M Yamin. Pada proses selanjutnya yang diterima pemerintah dan DPR RIS adalah rancangan Sultan Hamid II. Karya M Yamin ditolak karena menyertakan sinar-sinar matahari dan menampakkan pengaruh Jepang. Setelah rancangan terpilih, dialog intensif antara perancang (Sultan Hamid II), Presiden RIS Soekarno dan Perdana Menteri Mohammad Hatta, terus dilakukan untuk keperluan penyempurnaan rancangan itu. Terjadi kesepakatan mereka bertiga, mengganti pita yang dicengkeram Garuda, yang semula adalah pita merah putih menjadi pita putih dengan menambahkan semboyan “Bhineka Tunggal Ika”. Tanggal 8 Februari 1950, rancangan final lambang negara yang dibuat Menteri Negara RIS, Sultan Hamid II diajukan kepada Presiden Soekarno. Rancangan final lambang negara tersebut mendapat masukan dari Partai Masyumi untuk dipertimbangkan, karena adanya keberatan terhadap gambar burung garuda dengan tangan dan bahu manusia yang memegang perisai dan dianggap bersifat mitologis.

Sultan Hamid II kembali mengajukan rancangan gambar lambang negara yang telah disempurnakan berdasarkan aspirasi yang berkembang, sehingga tercipta bentuk Rajawali-Garuda Pancasila. Disingkat Garuda Pancasila. Presiden Soekarno kemudian menyerahkan rancangan tersebut kepada Kabinet RIS melalui Moh Hatta sebagai perdana menteri. AG Pringgodigdo dalam bukunya “Sekitar Pancasila” terbitan Dep Hankam, Pusat Sejarah ABRI menyebutkan, rancangan lambang negara karya Sultan Hamid II akhirnya diresmikan pemakaiannya dalam Sidang Kabinet RIS. Ketika itu gambar bentuk kepala Rajawali Garuda Pancasila masih “gundul” dan “tidak berjambul” seperti bentuk sekarang ini. Inilah karya kebangsaan anak-anak negeri yang diramu dari berbagai aspirasi dan kemudian dirancang oleh seorang anak bangsa, Sultan Hamid II Menteri Negara RIS.

Presiden Soekarno kemudian memperkenalkan untuk pertama kalinya lambang negara itu kepada khalayak umum di Hotel Des Indes Jakarta pada 15 Februari 1950. Penyempurnaan kembali lambang negara itu terus diupayakan. Kepala burung Rajawali Garuda Pancasila yang “gundul” menjadi “berjambul” dilakukan. Bentuk cakar kaki yang mencengkram pita dari semula menghadap ke belakang menjadi menghadap ke depan juga diperbaiki, atas masukan Presiden Soekarno. Tanggal 20 Maret 1950, bentuk final gambar lambang negara yang telah diperbaiki mendapat disposisi Presiden Soekarno, yang kemudian memerintahkan pelukis istana, Dullah, untuk melukis kembali rancangan tersebut sesuai bentuk final rancangan Menteri Negara RIS Sultan Hamid II yang dipergunakan secara resmi sampai saat ini.

Untuk terakhir kalinya, Sultan Hamid II menyelesaikan penyempurnaan bentuk final gambar lambang negara, yaitu dengan menambah skala ukuran dan tata warna gambar lambang negara di mana lukisan otentiknya diserahkan kepada H Masagung, Yayasan Idayu Jakarta pada 18 Juli 1974 Rancangan terakhir inilah yang menjadi lampiran resmi PP No 66 Tahun 1951 berdasarkan pasal 2 Jo Pasal 6 PP No 66 Tahun 1951. Sedangkan Lambang Negara yang ada disposisi Presiden Soekarno dan foto gambar lambang negara yang diserahkan ke Presiden Soekarno pada awal Februari 1950 masih tetap disimpan oleh Kraton Kadriyah Pontianak. Sultan Hamid II wafat pada 30 Maret 1978 di Jakarta dan dimakamkan di pemakaman Keluarga Kesultanan Pontianak di Batulayang.
Turiman SH M.Hum, Dosen Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura Pontianak yang mengangkat sejarah hukum lambang negara RI sebagai tesis demi meraih gelar Magister Hukum di Universitas Indonesia, menjelaskan bahwa hasil penelitiannya tersebut bisa membuktikan bahwa Sultan Hamid II adalah perancang lambang negara. “Satu tahun yang melelahkan untuk mengumpulkan semua data. Dari tahun 1998-1999,” akunya. Yayasan Idayu Jakarta, Yayasan Masagung Jakarta, Badan Arsip Nasional, Pusat Sejarah ABRI dan tidak ketinggalan Keluarga Istana Kadariah Pontianak, merupakan tempat-tempat yang paling sering disinggahinya untuk mengumpulkan bahan penulisan tesis yang diberi judul Sejarah Hukum Lambang Negara RI (Suatu Analisis Yuridis Normatif Tentang Pengaturan Lambang Negara dalam Peraturan Perundang-undangan). Di hadapan dewan penguji, Prof Dr M Dimyati Hartono SH dan Prof Dr H Azhary SH dia berhasil mempertahankan tesisnya itu pada hari Rabu 11 Agustus 1999. “Secara hukum, saya bisa membuktikan. Mulai dari sketsa awal hingga sketsa akhir. Garuda Pancasila adalah rancangan Sultan Hamid II,” katanya pasti. Besar harapan masyarakat Kal-Bar dan bangsa Indonesia kepada Presiden RI SBY untuk memperjuangkan karya anak bangsa tersebut, demi pengakuan sejarah, sebagaimana janji beliau ketika berkunjung ke Kal-Bar dihadapan tokoh masyarakat, pemerintah daerah dan anggota DPRD Provinsi Kal-Bar.**


Sultan Hamid II Pencipta Burung Garuda
Syarif Abdul Hamid Alkadrie yang bergelar Sultan Hamid Alkadrie II dan Sultan ke 8 Pontianak, Kalbar ini adalah pencipta Burung Garuda. Sultan Hamid juga orang Indonesia pertama yang berpangkat tertinggi di dunia militer.

Pontianak: Nama Syarif Abdul Hamid Alkadrie memang kurang dikenal di Tanah Air. Padahal, tokoh nasional dari Pontianak, Kalimantan Barat ini adalah pencipta lambang negara Indonesia, Burung Garuda.

Selain pencipta lambang negara, Syarif yang bergelar Sultan Hamid Alkadrie II dan Sultan ke 8 Pontianak ini juga adalah orang Indonesia pertama yang berpangkat tertinggi di dunia militer, yaitu mayor jendral.

Sultan Hamid membuat lambang negara berdasarkan penugasan Presiden Sukarno pada 1950. Saat itu dia menjabat menteri tanpa porto folio. Rekannya, Muhammad Yamin sebenarnya juga membuat rancangan lambang negara, Namun, Sukarno akhirnya memilih rancangan Sultan Hamid. Setelah disempurnakan, gambar Burung Garuda diresmikan Sukarno sebagai lambang negara pada 10 Februari 1950.

Salinan sketsa Burung Garuda yang tersimpan di Keraton Kadriah, Pontianak ini menunjukkan proses pembuatan lambang negara sangat rumit hingga harus diubah berkali-kali.

narasumber: Perancang Lambang RI yang terlupakan...

Repost from Agan zibbennova (KASKUS)

Sangat

Matahari bersorak gembira
Memecah awan di terbang di angkasa
Senandung melodi pagi memecah sunyi
Menambatkan mimpi-mimpi yang bergulir tiada henti

Memejamkan mata terengah
Menitikkan air mata hingga ku jengah
Dalam hati ini terasa dalam
Sangat dalam hingga ku tak mampu memaknainya

Cinta ini
Sayang ini

Tak tahu bagaimana aku harus menunjukkannya
Tak tau bagaimana aku harus memaknainya

Aku bingung
Karena saking sayangnya
Karena saking cintanya

Tahukah engkau apa yang aku rasakan?
Sadarkah engkau bahwa aku menyayangimu dengan sangat?

Monday, 23 November 2009

Kehilangan di tengah penjuru

Menatap galau dalam pekat mimpi
Yang telah terangkai setiap hari

Telah tercetak sedalam kalbu
Telah mendekap dalam pilu
Syahdu memadu ragu
Lembut merasaku

Terasa goyah apa yang ada
Menengadah ku terasa sirna
Kilauan air mata terasa deras
Seiring cairnya tekad yang telah keras

Hidup ini naik turun
Seolah manusia kan menjadi pikun
Mengingat apa yang tak kan teringat
Menyapu debu di atas goresan raga

Kemana semua
Dimana semua
Hilang seolah tertinggal
Tiada seperti lenyap

Ku cari
Ku sadari
Dia berada di sana
Dia menunggu tuk diraihnya

Tapi sering aku menjauh
Melangkah sedikit namun selalu

Aku tahu aku menjauh
Dan aku ingin sebenarnya mendekat

Tuhan
Jauhkanlah hal yang menjauhkanku
Dekatkanlah hal yang mendekatkanku

Thursday, 22 October 2009

Biarkan Hanya Kita Berdua

Gelegar petir tatkala hujan
Riuh debu bertebangan saat matahari menantang
Berlipur rasa
Menutup redup

Bernyanyi dan melantunkan simphony
Merayap menapaki saat
Lewat dalam beberapa tahap
Seakan semua hinggap dalam genggam malaikat

Bunga nan mekar merayu syahdu
Kumbang berterbangan bersama kupu
Mekar bersama seiring cahaya surya
Melewatkan masa hanya membuai mata

Berbaring dalam keindahan
Menatap langit berubah warna
Merasakan angin berubah hembusan
Merasakan angin yang berubah rasa

Seolah terkungkung dalam kebahagiaan
Terkurung dalam mahkota asmara
Yeng bersekat kerinduan
Berbatas kasih sayang

Tak melihat seorangpun di sana
Bahkan anginpun tak rela menyibakkan rambut kita
Menyentuh kulit ari pun tidak

Mereka membiarkan kita
Melewati masa
Hanya kita berdua

Monday, 28 September 2009

Gelombang Hidup

8 bulan yang lalu aku masih sibuk dengan agenda sabtuku
Berkutat dengan kail dan panasnya matahari
Kesejukan air yang kadang menyeka setiap keringat di kaki
Menuai kisah harapan dan berkah
Memupuk rasa sabar dan perjuangan
Gigih dan pantang menyerah

Usaha dan doa senantiasa kulantunkan dalam tiap nafas pagi hariku
MEnanti terik matahari mengguncang hati nurani
Terpekik kecil terkadang sudut-sudut penyesalan
Namun semua telah terjadi
Bukan sesal yang harus dijalani
Namun sejumlah rasa tanggung jawab akan sebuah konskuensi

Berjuang dalam sebuah filosofi kehidupan
Realistis dan religi
Membaur menuang mimpi
Membuka mata tuk berusaha

Pernah terucap setahun ingin beristirahat
Dan setaun itu pulalah aku bener2 beristirahat
Meski oirang berkata yang mengiris tiap senti perasaan
Sempat bersedih melihat orang tua meratap
Namun keteguhan hati yang kian menanjak
Mencoba istirahatkan pikiran orang tua tuk senantiasa memuja

8 bulan sudah
Teringat masa-masa kering keringat
Mendongak menatang matahari
Bersama teman sejawat yang jauh di bawahku
Teman yang memberikan pembelajaran banyak buatku
Tentang waktu
Tentang usia
Dan tentang kegigihan

Kini
Aku disini
Berkutat dengan komputer yang bersanding dengan ribuan mili kertas
Tergelar merata di atas meja
Dunia kerja

Aku sadar
Aku mengerti
Semua ini takkan lama
Kematian mengintai jiwa manusia

Semua bisa berakhir begitu saja
Secepat air mebasahi tiap bayang2nya
Secepat cahaya menyilaukan mata

Yang kurasakan saat ini
Penurunan kualitas diri
Penurunan kualitas iman
Terlena aku sadar
Terbuai aku mengerti

Bapak dan Ibuku
Senantiasa doakan anakmu
Tetap berjalan di jalan yang diridhoi Allah SWT
Menjadi anak yang berbakti pada orang tua
Berguna bagi keluarga, masyarakat dan bangsa

Meski aku telah dewasa
Ajari aku untuk menghadapNya
Ajari aku untuk mensyukuri apa nikmatNya
Ajari aku untuk menyebut tiap namaNYa
Dalam guratan nadi nan sepi

Friday, 24 July 2009

Rendezvouz

Rendezvouz

Akhir-akhir ini otak sering berbenturan dengan benda keras, amat sangat. Sekeras batu kali yang menganga di aliran sungai bekas muntahan lahar dan kokoh menghadang arus. Susah payah harus dijalani karena memaksa otak untuk kembali mengingat masa silam, entah, itu kejadian berapa tahun lalu. Sulit sekali untuk sekedar mengingat deretan huruf yang membentuk kata-kata didalamnya.

Benda keras itu ternyata angan, ingatan. Apakah gerangan? Ternyata tentang memori dan harapan yang pernah terjalin di dalam baskom milik bersama. Baskom itu berisi canda, tawa, suka, dan duka. Masing-masing berjejar membentuk kumpulan tanpa bentuk, senantiasa memanggil ingatan untuk kembali pulang.

Batu-batu itu tak datang atau jatuh dari langit. Ia hadir sebagai bagian dari proses panjang dari penggalan-pengggalan kisah lama yang saat ini sedang diupayakan untuk disatukan lagi meskipun tak mungkin seperti semula. Disatukan dalam retakan-retakan ingatan yang masih tersisa, hanya mencoba menge-lem-nya agar rekat untuk sementara.

Bayangan itu semakin menguat saja seiring kata yang meluncur deras dan membangunkan memori. Memang, ini hanya sekedar beromantika tentang masa lalu yang telah membentuk hari ini. Tentang kejadian yang telah menciptakan jalan bagi hari ini dan harus ditapaki sendiri-sendiri. Tak tahu lagi kemana saja mereka pergi dan meninggalkan semuanya, apakah di peraduan atau masih melayang dan terbang bebas di angkasa.

Langkah kaki yang berat semakin jelas tergambar. Bukan karena beban sayang, ini hanya karena keinginan untuk menumpahkan semua ingatan yang telah tertumpuk dalam-dalam. Tertumpuk di dasar samudera kejadian dengan aneka warna pembentuknya, juga rasa yang membumbuinya. Pahit, asam, manis, dan asin bercampur jadi satu hingga sulit untuk membedakan satu sama lain. Hanya ada satu keinginan, pertemuan.

Sayang, ini bukan karena ingatan biasa yang kemudian dimunculkan begitu saja, jangan kau tanyakan lagi. Ingatan ini sangat erat dengan harapan. Berkelindan dalam waktu tak singkat dan terus berupaya dihidupkan kembali. Menjadi berat karena didalamnya bercampur antara memori dan harapan yang disusun di atas tanah kebersamaan.

Bukan karena ini dan itu kemudian ingatan itu dimunculkan tiba-tiba, terlalu kecil ihwal tersebut untuk sebuah “hajat” besar. Terlalu remeh-temeh jikalau hanya bersandar keinginan tanpa tujuan. Di dalamnya juga mengandung tanggung jawab, bukan pada diri-sendiri saja, melainkan untuk semua. Seperti saat janji dikumandangkan, susah senang ditanggung bersama dalam suka dan duka. Bertanggungjawab atas sebuah proses yang nantinya bisa dinikmati dalam cawan kebersamaan.

Semua itu butuh jalan, perlu proses. Ada kalanya kehendak tak bisa dipenuhi oleh kenyataan, atau sebaliknya. Inilah yang sedang terjadi, bergelanyut dan siap membuncah setiap saat. Tentang pertemuan itu. Sebuah pertemuan “agung” diantara kejaran waktu seperti halnya kayu yang tak sempat berkata apa pun kepada api hingga menjadikannya abu. Sangat cepat, tak terduga. Namun, itu adalah kenyataan dan siapa pun sulit untuk mengubahnya. Mungkin bisa disiasati di setiap huruf yang hilang didalamnya.

Semakin tak sabar untuk menunggu itu. Namun, semakin dekat, kesedihan semakin menjadi. Itulah resiko yang harus ditanggung karena pilihan. Meski demikian, laari bukanlah jawaban, harus dihadapi. Pertemuan itu. Ya, harus menjadi dan terus terjadi meski batu lahar itu terus tegak menantang.

Copied from Irvan

Monday, 13 July 2009

Apa Yang Terjadi

Sebenarnya apa yang tengah terjadi saat ini. Kegalauan merambah hatiku. Entah siapa dan apa yang telah mencoba menjauhkanku dari Allah SWT. Semua terasa mundur. Seolah aku tak melakukan apa-apa yang berguna. Kemana saja aku ini?Apa saja yang telah aku lakukan?

Rasa yang sama ketika aku harus tertelan rasa pencarian kerja. Mengedarkan ijasah, transkrip dan CV. Semua tenggelam dalma tengadah doa, dalam tiap basuhan air wudhu. Shalat malam dan indahnya puasa sunnah. Jamaah di masjid meski harus berhadap dengan sepi, dingin kala pagi menghujat. Saat semua orang tidur terlelap.

Tapi kini, apa yang telah aku lakukan?Setelah aku dapat pekerjaan, semua itu seolah aku tinggalkan, seolah aku lupakan. Terlalu larut aku dalam hingar bingar kehidupan. Terlelpa dalam mimpi setan. YAng ditawarkan sesaat menyesal kemudian.

Aku rindu...basuhan air wudhu kala dini hari. Luapan air mandi tatkala aku hendak menegakkan shalat Lail.

ingin aku rasanya membanting dunia ini. Televisi dan semua piranti yang melelapkanku.

Ujiankah, cobaan atau justru adzab dari sang Khalik?

Ya Allah, berikan aku perlindunganmu dari godaan setan yang terkutuk.
Berikan aku jalanMu, jalan yang Engkau ridhai
Jadikan hamba sebagai orang-orang yang berjalan di jalan lurus Mu
Berbakti kepada orang tua dan berguna bagi keluarga, masyarakat dan bangsa.

Akhiri semua ini dengan segala rahmatMu
Tuntun hamba

Friday, 10 July 2009

Sebenarnya Aku Tahu

Sebenarnya aku tahu...
Ya, aku sebenarnya tahu apa yang aku lakukan ini salah
benar-benar salah
Aku tahu itu
Tapi gak tahu kenapa aku tetep lakuin hal itu juga
Demi apa
Aku sendiri gak tahu
Semuanya mengalir seolah tiada apa yang akan kugunakan sebagai sebuah alasan untuk menyangkal apa yang pernah aku lakukan.
Munafik?
Mungkin bisa dikatakan seperti itu
Tapi bagaimana harus aku mengatakan
Bagaimana aku harus mengungkapkan
Sementara aku sendiri telah melakukannya
Penyesalan tinggallah penyesalan
Dan semua terulang kembali seolah tiada sesal dalam hati ini
Aku ingin semua ini selesai
Dan aku mengawali hari yang aku ingin ada di dalam kehidupanku
Teratur dan terpola
Mimpi-mimpiku yang berjajar rapi
Bertepi dalam setiap mimpi yang akan terlewati
Menjadi kehangatan dalam diri
Aku ingin melewati semua ini

Monday, 6 July 2009

Bukan Karyaku 1

when you try your best, but you don't succeed
when you get what you want, but not what you need
when you feel so tired, but you can't sleep
stuck in reverse

and the tears come streaming down your face
when you lose something you can't replace
when you love someone, but it goes to waste
could it be worse?

lights will guide you home
and ignite your bones

and high up above or down below
when you're too in love to let it go
but if you never try you'll never know
just what you're worth

I promise you I will learn from my mistakes
and I will try to fix you

Monday, 18 May 2009

Tanah Abang - Pondok Ranji

Perjalanan yang menyenangkan. Setelah lama aku berlangganan Busway untuk menuju Pondok Jurang Mangu Indah di Bintari sektor 5. Akhirnya aku menemukan jalan baru menuju ke sana. MAklum saja belum lama aku tinggal di Jakarta. Jadi masih harus belajar.
Busway Petojo - Lebak Bulus.
Perjalanan ini butuh waktu sekitar 1 jam. Ditambah lagi dengan perjalanan menggunakan angkot yang menghabiskan waktu 45 menit. ! jam 45 menit. Lumayan lama. Jadi akhirnya aku harus rela bernagkat pagi-pagi, berjuang keras demi bertemu seseorang di sana.
Sampai pada akhirnya aku menemukan tulisan Stasiun Pondok Ranji. Hmm...akhirnya aku menanyakan tentang jadwal-jadwal kereta api. Nanya ke temen, nanya ke penjaga stasiun bahkan nanya ke calon-calon penumpang. Pernah terakhir aku bertanya jam 8. JAm 8 malam tentu saja. Dijawab saja "wah kalo hari sabtu minggu tuh gak ada mas". Pada akhirnya aku harus mengejar waktu buat ngedapetin angkot untuk ke Lebak Bulus dan naek Busway. Dapet sih...
Kemudian pada akahirnya aku bertanya, bertanya dan bertanya terus. sampai pada akhirnya aku tahu jadwal-jadwal kereta yang menuju ke Pondok Ranji. Ternyata benar. Lebih cepat saja pake KRL. BAyangkan saja aku hanya membutuhkan waktu 1 jam buat sampai ke sana. Itu udah termasuk dengan perjalanan via angkot juga loh...
dan akhirnya pun sekarang aku menggunakan KRL untuk transportasi ku menemui seseorang. seseorang yang biasa aku panggil De'...
KRL paling malam kalo hari sabtu dan minggu adalah jam 8.00 malam. AC Ekonomi...akhirnya aku bisa menemukan solusi middle distance ku...
Alhamdulillah....

Friday, 17 April 2009

anniversay

we wish we luv us...we wish we luv us..we wish we luv us...forever...
hehehehehe...deskripsi bagaimana anniversarry Q bersama De'...Q, udah setahun ternyata ya De'...kita jalan bareng..berbagi bareng...
anniversary dengan 3451
3 cat rice
4 tempe fried
5 bird egg
1 ginger milk

hehehehe..ada maknanya lho
hanya Q dan De'...Q yang tau lho....

ahh..udah ah
kapan2 lagi blogging nya
dah kerja nih sekarang
yah lumayan di KPPU (alhamdulillah)

da..da...da...semua

Monday, 16 March 2009

Malam Berhenti dan Bulan Pun Tak Berganti

Pagi itu aku berdiri sendiri. Di tengah gurun atau disebut padang batu. Karena seluas apapun aku memandang aku hanya melihat deretan batu-batu besar berwarna coklat kemudaan. Gersang. Ya, sagat gersang. Aku emmandang terik matahari. Begitu sombongnya. Panasnya membakar kulitku. Menyilaukan mata. Seolah tak mengijinkan siapapun untuk memandangnya. Sungguh sombong sekali engkau!!!. Angin yang berhembus sama sekali tak mengurangi panasnya pagi itu. Tiada burung berkicau. Tiada embun menampakkan dalam tiap-tiap butiran tanah yang kering. Sangat kering.

Tiba-tiba pun angin berhembus bertambah kencang. Semilir???tentu tidak. Angin itu hanya membawa buliran debu. Buliran batuan kecil yang melukai mataku kalo saja aku tak berkedip. Tak merapatkan mata.

Dari atas kupandang lagi. Matahari meredup. Mengalahkah ia. Kasihankah dia. Ternyata tidak. Ada sebuah batu besar melayang di atasku. Menggelapkan bayangan di sekitarku. Meneduhkan sementara dari terik matahari. Besar sekali. Batu itu besar. Melayang begitu saja. Bagaimana bisa???

Perlahan batu itu seolah jatuh perlahan. Turun dan turun. Aku menyingkir. Aku berpindah. Dan aku beralih. Perlahan aku melihat tiap sisi dari batu itu. Kasar dan tetap berwarna coklat muda. Bergaris sampai akut tak tahu apa motivnya. bukan batik bukan pula polos. Mungkin bersedimen.

Angin juga masih berhembus. Ku lihat sesosok manusia berkerudung di atas batu itu. Diam dan tetap berdiri. Berkerudung. Kerudung itu pun bergoyang terkena hembusan angin. Wajah tak tampak karena dia membelakangiku. Bersembunyi di balik kain panjang yang bergoyang di terpa angin.

Berhenti bergerak. Akhirnya batu itu pun terdiam. Diam. Dan tak bergeming. Anginpun sepertinya juga sepakat. Tak berhembus. Sepi. Sepi. Dan hanya sepi. Masih ku lihat sesosok itu tepat di depanku. Dan aku pun belum tahu siapa dia.

Angin kembali berhembus. Semilir kali ini berbeda dari yang tadi. Sejuk dan menyejukkan. Saat itu pula sosok di depanku membalikkan tubuhnya. Sedikit demi sedikit bergeser seratus delapan puluh derajad.Menampakkan wajahnya yang redup, teduh dan seolah aku mengenalnya. Ya, aku mengenalnya.

Seutas senyum melambai mengembang dari lembut wajahnya. Dan tepat semua pemandangan itu tepat berada di depan mukaku. Tepat di depan kedua mataku. Senyum itu pun semakin mengembang. Indah kurasa. Dan aku merasa. Ya, aku mengenal dia.

Sesosok manusia yang sering bersamaku. Menggapai mimpi. Menuliskan cerita-cerita baru. Menyatukan perasaan yang selama ini terpendam.

Mata kami saling beradu. Saling membisu. Namun dengan senyum yang mengembang. Dan kami pun tetap diam.

Tiba-tiba saja awan tak hitam namun hujan turun. Sejuk dan menyejukkan. Aneh memang aneh. Gemericik buliran air yang jatuh itu sama sekali tak membasahi kami. Serasa berada di bawah tameng tak kasat mata. Kami pun tersenyum.

Perlahan gurunn itu berubah. Rumput tumbuh seperti biji kacang yang ditanam oleh Oki di bantu Putri Nirmala. Tumbuh cepat dan pesat. Gurun berubah menjadi hijau. Rumput menggelar luas di bawahnya. Seluas aku memandang hanya hijau. Hijau dan hijau...sejuk sekali...dan aku hanya bersamamu berdua di sana. Tiada yang lain.

Matahari bahkan tak bisa bersombong. Dan akhirnya dia pun tenggelam. Menghilang begitu saja. Sesaat langit menjadi gelap. Tak tampak sama sekali pun benda yang ada. Bergantilah menjadi bulan. Bulan yang tak penuh. Tak bulat penuh. Hanya sebagian saja yang nampak. Bulan sabit biasa orang menyebutnya.

Lama bertengger bulan itu di atas kami. Kami pun duduk di atas rumput yang tadi siang berwarna hijau. Entah sekarang berwarna apa tak tahu karena samar suasana malam. Tangan mu dan tanganku berpaut. Menatap indahnya bulan yang sendirian. Tak satupun bintang yang ada di sampingnya. Sendiri dan sendiri.

Namun kita berdua. Berdua dan bersama. Bertautan tangan menggenggam waktu. Lama dan lama. Diam dengan senyum yang mengembang. Bahkan seiring waktu engkau sandarkan kepalamu di bahuku. Masih tetap diam dan hanya senyum berkembang. Malam seolah berhenti dan bulan juga tak berganti. Malam itu tiada berakhir. Sampai hal ini aku tulis aku rasakan dan aku ceritakan. Malam itu juga belum berakhir. Aku masih bersamamu melihat bulan sabit. Bersandar dan berpautan tangan. Kita terdiam dan tersenyum mengembang.

Aku bersamamu....
Di padang rumput yang paginya berwarna hijau
Melihat bulan yang sendirian

Bersamamu
Bersamamu
Diam dan tersenyum

Thursday, 12 March 2009

Kerja.....

Kerja….
Hehehe…setelah beberapa waktu penantianku (ya meski pun Q gak nganggur2 banget alias masih jadi pengacara…Pengangguran Banyak Acara) akhirnya Q dapat kerjaan yang lumayan jelas…lumayan gajinya…lumayan deh…
Q gak nyangka pada awalnya bisa masuk kerja di lembaga ini…lembaga di bawah presiden lho…
Awalnya sih minder gitu…temen2Q tuh pada berasal dari Univ Negeri…ada sih yang dari swasta gitu…tapi swastanya lumayan bergengsi lah…
Tapi pada akhirnya aku sadar ternyata justru kebalikannya aku harus memaknainya…dengan univ dengan prodi IESP yang lumayan susah buat cari kerja dengan predikat yang mungkin belu dikenal oleh orang banyak aku bisa berdiri di tengah-tengah mereka yang berasal dari univ ternama…Alhamdulillah
Ternyata Allah tuh emang tau yang terbaik buat umatNya….Amiin…
Awal kerja…gak teu mo ngapain…aplikasi ilmu yang mana…ngeBlank gitu deh…tapi tanya sana-sini emang wajar kok awal kerja kita gak teu kita mo ngapain, malah kalo kita udah tau kerjaan kita bisa-bisa kita dicurigai sebagai pegawai yang pernah kerja, keluar terus masuk lagi …hehehehehe…
Bersyukur banget deh…..
Hari—hari kerja…berangkat pagi pulang petang…gajian…kwakakakaka////
Makasi buat De’Q…yang senantiasa kasih dorongan semangat dan doa….LuV so much hunny…..I’LL NEVER LEAVE!!!!

Saturday, 31 January 2009

18th Hours

Near
Within call
You are beside me
Resides in my side

I even
Can saw your smile
Explain
Hardly explain

I saw you
Ya…I saw you
Every your sweat drip
Even do not miss
From my self

When you slept
Fall in your dream
I saw you

I saw your smile
I saw your face

18 hours
I am with you
On December 19th 2008

Friday, 30 January 2009

Thank You

My tea’s gone cold, I’m wondering why
I got out of bed at all
The morning rain clouds up my window
And I can’t see at all
And even if I could it’d all be grey
But your picture on my wall
It reminds me that it’s not so bad
It’s not so badI drank too much last night, got bills to pay
My head just feels in pain
I missed the bus and there’ll be hell today
I’m late for work again
And even if I’m there, they’ll all imply
That I might not last the day
And then you call me and it’s not so bad
It’s not so bad and

I want to thank you
For giving me the best day of my life
Oh just to be with you
Is having the best day of my life

Push the door, I’m home at last
And I’m soaking through and through
Then you hand me a towel
And all I see is you
And even if my house falls down
I wouldn’t have a clue
Because you’re near me and

Tuesday, 27 January 2009

Bolehkah Aku Menangis

Saat semua telah aku pertaruhkan
Saat semua telah aku perjuangkan
Saat keringatku habis kukeringkan
Saat doa deras sudah kulantunkan
Saat syukur terus ku agungkan
Bolehkah aku menangis

Saat kekasihku merintih
Saat kekasihku menangis
Saat semua bertumpu salah padaku
Saat aku tak mengerti apa yang terjadi
Telah terjadi dan sedang terjadi
Bolehkah aku menangis

Saat cinta tak menginginkanku
Saat sayangku tak berpeluk padaku
Saat sayangku harus membunuhku
Saat bahagiaku tak kunjung tiba
Bolehkah aku menangis

Saat orang-orang terdekatku jatuh
Dan aku tak mampu melakukan apapun
Berdiri melihatnya pun aku tak mampu
Bersenandung bahagiakannya pun tidak
Bolehkah aku menangis

Saat orang tuaku menengadahkan kepalan tangan mereka
Saling bertatap muka tak berarti suka
Saat mengalihkan rasa rumah tangga
Menjadi perang dunia
Bolehkah aku menangis

Atau aku harus diam saja
Atau aku harus berlari
Atau aku harus pergi
Atau aku harus bersembunyi

Haruskah aku melihat semua ini
Haruskah semua kulihat hanya berdiam diri
Sabar, sabar dan sabar
Hanya itukah akhir dari semua ini
Penyerahan diri pada sang Illahi

Tapi
Bolehkah aku menangis
Saat ini

Monday, 19 January 2009

Mereka Mungkin Tak Berpikir

Sebiji kesalahan ditanam
Segenggam ragu dan benci tertabur dalam
Ketidaktahuan akan kesadaran

Merekah tak menerka
Mengecil seiring waktu yang berlimpah
Bergeser dalam pertautan jeruji yang salah

Tak melihat mata mereka tak berpikir
Dalam kegelapan hati
Dalam buntunya pikiran
Yang telah terhasut rayuan setan

Semua telah berubah
Tak menjadi indah
Tak seperti seutas asa yang telah menjadi harapan

Kemana kehidupan indah yang pernah mereka impikan
Semasa lugu membenamkan diri mereka
Dalam roman picisan yang telah mereka kobarkan

Berpadu menjadi kepalsuan kini
Mereka telah mengorbankan cita-cita

Berpegangan pada syariat Islam pun mereka ragu
Shalat dan bacaan Quran yang mereka rajinkan

Berpeluh namun tiada guna
Ketika hanya ego yang menembus tiap perasaan-perasaan
Relung-relung logika hanya semakin menutupmu
Menutup dari bagaimana sebaiknya
Bagaimana seyogyanya

Tidakkah mereka berpikir
Ada yang lebih dari apa yang kini mereka kerjakan
Ada yang lebih dari yang mereka pikirkan
Mereka rasakan

Mereka telah menutup hatinya
Berkecamuk bela diri membesut luka
Perih hati memang takkan terobati
Kalau mereka takkan bisa lagi membendung semua

Berkilah saat meludah
Berebut saat bersahut

Sementara aku di sini hanya mampu melihat
Mendengar dan merasakan

Dan aku pun berkesimpulan

Mereka mungkin tak berpikir

Monday, 12 January 2009

Pagi Ini...(Seri Terlambat Posting)

Pagi ini….
Saat semua orang telah terlelap dalam mimpi
Saat semua orang terbuai akan tetes-tetes embun pagi
Yang bahkan tak dapat menggoyahkan mata untuk membuka
Yang berdiam diri saat mulut-mulut alam mulai merintih memohon
Kepada –Nya

Rumput meski tak bergerak
Belalang meski tak berjingkat
Air meski tak beriak
Bersama ikan yang menggelepar dalam kedinginan

Namun mataku melihat
Sosok perempuan yang aku kenal
Lewat dalam sebuah mimpi-mimpi samarku
Ku tatap dan tertoreh senyum kebahagiaannya
Senyum keceriaannya
Berlari berputar dan menari
Seiring mulutnya yang terbuka menyenandungkan nada-nada cerita
Indah hidupnya

Tak lama aku melihat teduh wajahnya
Tak jenuh pula aku menatap kedua mata indahnya
Tersenyum aku tatkala mendengar berbagai celotehannya
Menyibakkan kilauan kesahajaan
Dalam teduhnya kerudung menyelimuti wajahnya
Meringkuk bak anak kecil dalam pelukan ibunya
Memekik kecil mencoba memanggil siapa saja
Engkau bahagia

Friday, 9 January 2009

Ketika Ku Harus

Menapaki tiap lembaran album kehidupan
Belajar dari tiap ruas-ruas jalan yang telah berlalu
Perih dan pilu
Menjadi guratan syahdu menatap masa lalu

Melihat ke depan tak pancarkan sinar pun yang nampak
Meski tiada tabir tiada awan

Apa yang menutupi ini semua

Kelopak mata yang memejam
Atau helaian rambut mimpi yang menyibakkanku
Dalam kesemuan
Dalam angan-angan belaka

Tidak lah aku begini
Akankah aku menjadi

Namun aku tahu
Kepalaku terbenam dalam mimpi
Pikirku berlarut dalam khayal

Berpasrah bukanlah satu-satunya
Berpangku tangan bukanlah hal yang setia
Berharap dan hanya berharap bukanlah sebuah makna
Laiknya air yang diam
Terpaku saja dalam tempatnya
Berguna pun tidak bagi siapa saja

Ketika ku harus membuka mata
Aku melihat segalanya
Jelas sangat bertautan

Ketika ku harus mengepakkan keduapuluh jariku
Menggoyahkan tiap sudut hawa dunia
Menyibakkan rautan tajam dunia

Dan ketika ku harus
Merubah semuanya

Saturday, 3 January 2009

SEMUA KAN BERLALU

Seiring waktu
Melepas pergi gundah gulana
Seiring detik
Menghapus tiap kebahagiaan dan suka cita

Badai dan hujan kesedihan
Kan benderang secepat matahari bersembunyi di balik tenda
Rautan tawa kan berlalu begitu saja
Berganti bak semilirnya kehidupan di atas awan

Semua kan berlalu…
Ya..semua kan berlalu
Berputar pada poros kehidupan
Bertukar entah dengan siapa dan apa

Tetap teguh memegang kekuatan perasaan
Tak goyah dengan sejuta rasa percaya

Gontaian keringat pasti di tukar
Pasti diganti

Bukan menunggu yang harus menetap
Bukan berpangku saat yang tepat

Berputarlah
Berjingkraklah
Berpergilah
Berusahalah

Dan semua pasti kan berubah…
Semua kan berlalu